Ki Lengser memimpin prosesi "mapag panganten". |
Mengenakan baju lurik dan ikat kepala batik,
seorang lelaki tua berdiri memunggungi hadirin. Kaki kanan dia tekuk
sedikit, dengan telapak kaki tidak menyentuh tanah. Dia ayunkan
tangannya seperti pesilat yang hendak mematahkan leher lawannya. Lalu
dengan tiba-tiba dia sodorkan pantat, menggoyangnya maju mundur, dan
tawa hadirin pun pecah.
Ki Lengser, demikian lelaki berkumis dan berjenggot
putih itu dipanggil. Bersama para penari dan pengusung umbul-umbul, dia
bertugas menyambut pengantin dalam prosesi “mapag panganten”. Kali ini
yang disambut bukan pengantin beneran dalam resepsi pernikahan,
melainkan pengantin siswa dalam acara imtihan.
Imtihan adalah istilah orang daerah Priangan untuk
menyebut acara wisuda atau kenaikan kelas. Saya menyaksikannya akhir
Juni lalu, di SMK Asy-Syakirin, Rajadatu, Cineam, Tasikmalaya.
Pengantin siswa duduk di 'pelaminannya', dinaungi payung, dan dikawal pengusung umbul-umbul. |
Setelah Ki Lengser menampilkan aksi kocaknya, empat
pengusung umbul-umbul berjalan ke arah dua pengantin siswa yang duduk
di bawah tarub, di antara hadirin. Empat penari, seluruhnya perempuan,
lantas meliuk-liukkan tubuhnya, diiringi tetabuhan gamelan. Ki Lengser
tidak tinggal diam. Dia ikut menari, tentu dengan gaya bodornya, sembari
memandu para penari melangkah ke arah pengantin.
Di hadapan mereka, pengantin siswa duduk di bawah
naungan payung besar. Ki Lengser memberi kode agar pengantin bangkit
dari duduknya. Diiringi pembawa payung, penari dan pembawa umbul-umbul,
pengantin pun melangkah. Para penari, yang berada di barisan terdepan,
melakukan saweran, yaitu menabur-taburkan beras kuning hingga pengantin
tiba di tujuannya.
Prosesi sungkem yang penuh linangan air mata. |
Yang dituju adalah Bapak kepala sekolah yang duduk
di depan panggung. Begitu tiba, dengan arahan Ki Lengser, kedua
pengantin langsung bersimpuh. Pengantin laki-laki menjabat tangan kanan
Kepala Sekolah, pengantin perempuan menjabat tangan yang sebelah. Mereka
mencium tangan pahlawan tanda jasa itu. Mereka melakukan sungkem.
Saat prosesi sungkem berlangsung, suasana lucu
langsung berganti menjadi haru biru. Diiringi suara gamelan dan monolog
pembawa acara dalam bahasa Sunda, pengantin dan Kepala Sekolah
seakan-akan sedang berdialog dengan hatinya yang terdalam.
“Kami mohon maaf sebesar-besarnya atas segala
kesalahan kami sewaktu menuntut ilmu kepada Bapak-Ibu guru di sekolah,”
ucap pembawa acara. Kedua pengantin tampak sesenggukan. MC juga
mengucapkan terima kasih yang tulus kepada para guru dan meminta
didoakan supaya ilmunya bermanfaat di dunia dan akhirat.
Bapak kepala sekolah, dengan punggung membungkuk
dan air mata berlinang, juga meminta maaf apabila terdapat kehilafan
saat mengajar. “Kami para guru juga mengucapkan selamat kepada kalian.
Ingatlah selalu nasihat Bapak-Ibu guru meskipun kalian sudah lulus dari
sekolah ini. Jangan pernah meningalkan shalat dan jadilah anak-anak yang
sholeh,” ucap pembawa acara, mewakili suara para guru.
Para hadirin, dewan guru dan calon wisudawan larut dalam suasana haru
itu. Banyak yang tak kuasa menahan tangis. Buru-buru mereka keluarkan
tisu atau sapu tangan untuk menyeka air mata agar tidak merembes ke
pipi. Ki Lengser, para penari, pengusung umbul-umbul dan pembawa payung
berdiri dengan muka tertunduk. Mata mereka berkaca-kaca. Para penabuh
gamelan juga tak luput dari suasana haru itu. Kelopak mata mereka ikut
basah.Menerima ijazah dan dikalungi medali alumni, pengantin siswa tak kuasa membendung air matanya. |
Usai prosesi sungkem, ketika air mata belum
sepenuhnya kering, kepala sekolah menyerahkan ijazah dan mengalungkan
medali alumni. Pengantin siswa, dengan mata lembab, membalasnya dengan
mencium tangan kepala sekolah. Khusus kepada pengatin laki-laki, kepala
sekolah memeluknya, seakan-akan mereka akan berpisah untuk
selama-lamanya.
Kepala sekolah kemudian menyerahkan laporan hasil
belajar siswa tahun ajaran 2009/2010 kepada ketua komite sekolah.
Keduanya bersalaman dan berangkulan. Ketua komite sekolah menyampaikan terimakasih atas jerih payah kepala sekolah dan
seluruh guru. Pengabdian dan kerja keras mereka bukan hanya berhasil
membawa seluruh siswa lulus ujian nasional, tetapi juga
mengantarkan seorang siswa di sekolah ini meraih nilai ujian nasional
tertinggi se-Kecamatan Cineam.
Satu per satu wisudawan menerima ijazah dan medali alumni |
Dipandu Ki Lengser, pengantin dan Ketua Komite
Sekolah kembali ke tempat duduknya. Setelah itu, para wisudawan bergegas
ke depan untuk menerima medali alumni dari Ketua Yayasan. Para guru
mendampingi Ketua Yayasan, bersama Kapolsek dan Komandan Koramil yang
hadir dalam acara ini. Orang tua para siswa kemudian ikut bergerak ke
depan. Mereka menjabat tangan kepala sekolah dan para guru satu per
satu.
Sekitar jam sebelas siang, acara ini ditutup dengan doa, setelah
sebelumnya dibuka dengan pembacaan ayat suci al-Quran, menyanyikan lagu
“Indonesia Raya”, beberapa sambutan, prosesi mapag panganten dan sungkeman.
Ingat vs lupa
Bagi saya yang sekarang
bermukim di Jakarta, imtihan ala Tasikmalaya ini memberikan kesan yang
luar biasa. Saya jadi mengerti dan turut merasakan betapa di sebuah
daerah yang jauh dari hiruk-pikuk kota, acara wisuda ternyata penuh
warna dan sarat makna. Guru dan murid, juga pengurus yayasan dan wali
murid, tak hanya terikat hubungan administratif, tetapi juga punya
hubungan batin yang begitu dalam. Mereka menggambarkan keluarga besar
yang sebenar-benarnya.
Saya betul-betul menyesal karena baru membikin
tulisan ini beberapa bulan setelah imtihan itu berlalu. Saya lupa
menaruh memory card yang menyimpan data berisi foto-foto acara
tersebut dan baru menemukannya beberapa hari yang lalu.
Sejarah manusia adalah sejarah perjuangan ingat
melawan lupa. Mungkin kelupaan saya tadi masih bisa dimaklumi. Sangat
berbeda halnya bila kita lupa akan kekayaan tradisi kita, seperti
tradisi imtihan di Tasikmalaya yang saya tulis di sini.
Alangkah berdosanya kita bila yang kita ingat dari
acara wisuda hanyalah hura-hura dan konvoi di jalan raya. Betapa
celakanya bangsa besar bernama Indonesia bila masyarakatnya tercerabut
dari akar budayanya.
Menteng, 26 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar