Catetan Kang Cecep Burdansyah
LAHIRNYA negara Indonesia sebagai negara merdeka tak bisa lepas dari kemunculan elite- elite Indonesia yang datang dari berbagai daerah. Untuk sekedar menyebut nama, kita mengenal orang Jawa yang menjadi elite nasional seperti Dr Soetomo, Dr Wahidin sampai Soekarno. Dari Sumatera kita mengenal Hatta, Syahrir, Natsir, Adam Malik. Dari tanah Pasundan kita mengenal Otto Iskandardinata, Mr Iwa Kusumasumantri, Ir Djuanda. Akan bertambah panjang jika dari daerah lain disebutkan satu persatu.
Mewariskan Pemikiran
Dari sejak era pergerakan nasional, revolusi, orde lama, orde baru hingga era sekarang ini yang disebut-sebut sebagai era reformasi, kemunculan elite-elite atau tokoh-tokoh masyarakat tak pernah putus. Mereka muncul sesuai perannya masing-masing.
Kehidupan sosial memang tak pernah lepas dari kehadiran dan peran elite suatu masyarakatnya. Begitu pula Indonesia yang dibangun di atas keanekaragaman suku bangsa dan budaya, selalu bermunculan elite-elite nasional. Maka tak heran bagi sebagian orang, panggung nasional menjadi ajang persaingan elite untuk saling mengukuhkan eksistensinya masing-masing. Persaingan ini sah sepanjang mempunyai visi untuk membangun martabat dan harkat ke- indonesiaan di mata internasional. Kemunculan elite nasional selalu disyaratkan dengan integritasnya, yakni komitmen dan visi yang kokoh bagi kepentingan masyarakat banyak ke arah kehidupan yang lebih baik. Komitmen dan visi ini tak sekadar dilisankan atau dikampanyekan, tapi dibuktikan melalui perjuangan, pemikiran, dan karya-karyanya itu bagaikan tesis yang bisa dilacak serta direspon oleh generasi berikutnya.
Sayangnya kemunculan elite-elite nasional itu tak selalu dalam nuansa dan visi yang sama. Pada era pergerakan nasional terjandi konflik pemikiran dan ideologi, dan ujung-ujungnya membuahkan karya. Masing-masing elite mempunyai sikap dan intelektualitas yang jelas dalam mempertahankan ideologinya, mulai dari nasionalisme, komunis dan agama. Banyak konflik tapi sipatnya intelektual.
Lahirnya tokoh KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah tak lepas dari kegigihannya berpikir dan berjuang di organisasi, karya adalah organisasi Muhammadiyah yang kokoh sampai sekarang. Kita juga mengenal Semaun yang pertama kali jadi Ketua Umum Partai Komunis yang kemudian dilarang dan selalu jadi bahan perdebatan sampai sekarang. Nama Soekarno kita kenal berkat nasioanalismenya yang membakar rakyat Indonesia untuk bersatu, sehingga ia berhasil jadi presiden RI yang pertama. Soekarno kemudian terlibat konflik pemikiran dengan Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Djuanda, Otto Iskandardinata, Iwa Kusumasumantri. Walaupun mereka kemudian berpisah, gaung pemikirannya tetap bergema sampai sekarang.
Mereka juga umumnya dimahkotai dengan karya-karya tulisan yang cemerlang sebagai buah pemikirannya. Bahkan nama mereka ditulis dalam bentuk biografi intelektual baik oleh penulis mancanegara maupun penulis dari tanah air. Pada era ini, kemunculan para elite yang datang dari berbagai daerah seperti Jawa, Sumatera, Sunda dan daerah lain disertai dengan menunjukkan integritasnya.
Mewariskan Kekerasan
Pada era orde baru, kemuculan tokoh nuansanya berbeda. Munculnya Jendral Soeharto, Nasution, Soemitro, Ali Murtopo, Beny Moerdani, Try Soetrisno sampai Wiranto sebagai elite nasional disertai aroma kekerasan. Soeharto dengan Gerakan 30 Septembernya, Ali Moertopo dan Soemitro dengan Malarinya, Benny Moerdani dengan Petrusnya, Try Soetrisno dengan Tanjungprioknya, Wiranto dengan Semanggi dan Trisaktinya. Pada era orde baru ini, kemunculan elite mulai diragukan integritasnya. Mereka hampa pemikiran cemerlang, malah menjadi elite yang sarat kontroversi dan mewariskan persoalan yang mencekik generasi hingga sekarang ini.
Celakanya, sejak orde baru sampai sekarang memang seperti musim paceklik elite yang memiliki integritas. Sejak Habibie sampai Susilo Bambang Yudhoyono, kita belum melihat lagi elite nasional sekaliber Soekarno, Hatta, Syahrir, Djuanda. Para elite nasional sekarang ini sibuk bertengkar bukan karena konflik pemikiran, melainkan konflik kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka seakan menerima warisan dari elite era orde baru.
Suasana pacelik elite di panggung nasional ini merembes juga ke daerah, terutama tatar Sunda. Setelah kelahiran Dewi Sartika, Iwa Kusuma Sumantri, Otto Iskandardinata, Ir Djuanda, kini sulit menemukan elite Sunda yang memiliki integritas. Mungkin hanya bisa menyebut satu atau dua orang, misalnya Teten Masduki sebagai elite Sunda yang memiliki integritas. Ia punya komitmen kuat untuk memberantas korupsi di tanah air. Nama lain yang patut disebut mungkin Nana Sutresna, diplomat ulung yang berasal dari Jawa Barat. Burhanudin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia juga patut dicatat. Prestasi Burhanuddin patut dicatat karena di era dia sebagai Gubernur BI, Indonesia bisa melunasi utang ke negara pendonor.
Mimpi Berkuasa
Ironisnya, sebagian besar elite Sunda selalu mengasumsikan bahwa kemunculan elite Sunda itu harus selalu di level kepemimpinan nasional, dalam pengertian memegang jabatan struktural di level pemerintahan, karena itu mereka berlomba-lomba masuk partai atau ikut bertarung dalam pemilihan kepala daerah. Mereka juga terbuai oleh mimpi adanya orang Sunda jadi pemimpin nasional.
Kasarnya, banyak elite Sunda bermimpi berkuasa di panggung nasional tanpa membangun integritasnya. Ironisnya, tokoh yang akan tampil dalam perebutan pemilihan Gubernur 2008 saja, sepertinya masyarakat Jawa Barat akan bingung harus memilih siapa. Karena dari stok yang ada, belum ada tokoh yang integritasnya kokoh. Paling tidak indikatornya dilihat dari komitmennya dalam memberantas korupsi dan memajukan sumber daya manusia Jabar lewat pendidikan murah..
Memang bukan berarti sama sekali tak ada orang Sunda yang memiliki integritas. Hanya saja tokoh Sunda yang memiliki kadar integritas kuat tidak berada di berada di level struktur pemerintahan atau partai. Contohnya Teten Masduki. Bagi saya dia menjadi tokoh Sunda yang membanggakan masyarakat Sunda.
Sebaliknya, saya tidak bangga melihat orang Sunda menjadi pejabat di pemerintaha baik pusat maupun daerah, atau di parlemen. Alih-alih mampu mengukir prestasi seperti Teten Masduki, mereka malah sering terlibat polemik yang menghabiskan energi, bahkan tak jarang terlibat praktek korupsi.
Menjelang pemilihan gubernur Jawa Barat tahun depan, masyarakat Sunda terutama generasi mudanya, patut merenungkan jejak pemikiran tokoh Sunda masa lalu seperti Djuanda, Iwa Kusumasumantri, Otto Iskandardinata, Dewi Sartika, dan melupakan tokoh Sunda jaman sekarang yang suka mengumbar janji tanpa bukti. Jangan pula terjebak pada tokoh-tokoh yang sering mewacanakan budaya Sunda padahal sekadar menjadikan budaya sebagao alat untuk meraih kekuasaan. *
Bilih kuring mipit teu amit ngala teu bebeja, kalih bilih aya seratan nu teu kawidian pamugi neda widina. Hatur Nuhun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pangeran Jamban
Pentingna ngaji tepat waktu teh meureun sangkan henteu saliwang sok komo lamun nu diajina ilmu taohid. Salah saeutik oge apan anu tikosewad ...
-
Sisindiran téh asalna tina kecap sindir, anu ngandung harti omongan atawa caritaan anu dibalibirkeun, henteu togmol. Luyu jeung éta, dina s...
-
MOHON tidak berburuk sangka dulu, saya tidak berniat menulis seputar pornografi. Sengaja saya tulis dalam bahasa Indonésia, karena kata “mom...
-
Sikep idealis andika menyebabkan dia kesusahan menghindari hal yang bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Sumirah (umi) istrinya menj...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar