Mencari Paris di Bandung
Oleh Jamaludin Wiartakusumah
.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi Paris ibukota Perancis.
Sebuah kota di Eropa yang mengundang penasaran karena dijadikan julukan
untuk kota Bandung, Parijs van Java. Julukan yang muncul pada masa
kolonial Belanda dan tetap populer atau dikenang hingga kini. Tentu
kunjungan singkat pada musim dingin di kota itu dipergunakan untuk
mengidentifikasi julukan tersebut, dengan cara mencari kesamaan,
kedekatan dan perbedaan antara Paris dengan Bandung.
Dari segi geografis, ada dua kesamaan
dalam skala yang berbeda. Pertama, Paris dan Bandung berada di
pedalaman, bukan di tepi pantai atau kota pelabuhan. Meskipun begitu,
keduanya berkembang seperti kota pelabuhan, yaitu menjadi kota yang
menarik untuk didatangi orang dari berbagai tempat lain dan profesi
termasuk seniman. Vincent Van Gogh dari Belanda atau Pablo Picasso dari
Spanyol misalnya, merintis karir, berkarya dan pernah mukim di Paris.
Demikian halnya Bandung, pernah menjadi tempat perintisan karir
seniman besar Indonesia seperti Affandi dan Hendra dan tempat domisili
banyak seniman ternama.
Namun, bila di Paris karya seniman
tersebut dikoleksi berbagai museum negeri seperti museum Louvre atau
d’Orsay, sampai kini Bandung belum memiliki museum negeri serupa. Di
Bandung, beberapa seniman sendirilah yang membuat museum karya-karyanya.
Kedua, adanya sungai yang melintasi
kedua kota tersebut. Di tengah Paris mengalir sungai Seine yang lebar
dan dilalui perahu, sedang di Bandung ada Cikapundung. Karena lebar,
bersih dan di kedua sisinya terbentang jalan raya, kehadiran sungai
Siene sangat terasa dan menjadi bagian penting dari kota Paris.
Beberapa gedung penting berlokasi dekat sungai itu sehingga paket
wisata menyusuri Siene sebagian besar berisi informasi mengenai
gedung-gedung yang dilewati. Sementara Cikapundung yang mengalir di
tengah Kota Bandung, hanya tampak di beberapa kawasan saja seperti
Viaduct dan di samping Gedung Merdeka. Selebihnya tampak hilang
terhalang pemukiman. Di jembatan Jalan Suniaraja, wajah Cikapundung
malah ditutup papan iklan besar karena kondisinya tidak elok sebagai
bagian dari panorama kota dan kita belum cukup mampu membuatnya lebih
baik. Sungai yang lebih mendekati ukuran dan fungsi Siene di seputar
Bandung adalah Citarum.
Tata Kota
Salah satu ciri Paris adalah desain
jaringan jalan yang banyak menggunakan sistem aksis atau sumbu yang
memusat pada jalan melingkar seperti Bunderan HI di Jakarta. Sebagian
besar jalan utama, taman atau gedung penting tertentu berada dalam satu
garis lurus atau memusat pada suatu monumen atau landmark kota.
Di Bandung sumbu aksis ini juga
terlihat di sekitar Gedung Sate. Sebagian jalan di kawasan itu
melingkar atau mengarah pada Gedung Sate sebagai pusat aksis.
Sementara Jalan Oto Iskandardinata yang membentang dari selatan,
berujung di utara menghadap bangunan bekas pembesar Belanda kolonial
yang sekarang disebut Gedong Pakuan, rumah dinas Gubernur Jawa Barat.
Selain menggunakan bangunan besar sebagai titik pusat, aksis di Bandung juga menggunakan landmark
alam. Gedung Sate dan pendopo bekas kabupaten, menghadap ke gunung
Tangkubanparahu di utara. Gerbang Institut Teknologi Bandung menghadap
selatan dan kawasan tengah kampus dibiarkan terbuka sehingga Gunung
Tangkubanparahu di utara masih terlihat.
Transportasi umum Paris terdiri dari metro, bis kota, trem, RER dan taksi. Metro adalah sistem mass rapid tranport
berupa kereta di dalam kota yang sebagian besar berada di bawah tanah
(terowongan) . Kereta ini memiliki jalur rel dengan panjang
keseluruhan sekitar 221 km dan jumlah stasiun 380. Dari stasiun bawah
tanah ke permukaan kota, dihubungkan dengan tangga yang muncul di
sekitar perempatan jalan, trotoar atau di tengah komplek perkantoran.
Jalur pertama Metro ini mulai dibangun pada tahun 1900 dan selesai pada
1939. Perpindahan penumpang dari satu stasiun ke stasiun jurusan lain
dilakukan di bawah tanah melalui terowongan penghubung. Metro adalah
sistem transportasi yang efisien, mengantar penumpang, warga Paris atau
turis, ke dan dari penjuru kota Paris.
Trem adalah kereta listrik antar
kawasan pinggiran Paris sementara kereta RER melayani tujuan Paris dan
kota-kota di sekitarnya. Dengan trem, bepergian dari satu kawasan
pinggiran ke pinggiran lain, tidak perlu masuk ke tengah Paris dahulu.
200 Tahun
Di banding dengan Paris yang konon
berumur lebih dari dua ribu tahun, Bandung sebagai kota tahun ini baru
akan genap 200 tahun. Tentu usia Bandung bisa lebih dari itu bila
melihat laporan Julian da Silva bahwa pada 1614 ada sebuah perkampungan
bernama Bandung yang dihuni sekitar 25-30 rumah dan jauh lebih tua lagi
bila merujuk pada temuan arkeologi yang menunjuk pada angka tahun 1488.
Sebagai kota yang dibangun Belanda pada
masa kolonial, Bandung memiliki warisan khas berupa jejak desain awal.
Mulai dari sebagai kota kecil tempat para preanger planter (londo
pemilik perkebunan di sekeliling Bandung) berakhir pekan, dengan
kawasan Braga sebagai pusat hiburan dan belanja. Sementara itu, di
tengah kota banyak kawasan pemukiman satu lantai khas rumah model
pedesaan Belanda jaman dahulu dan masih ada hingga sekarang. Kondisi
ini menjadikan kota Bandung sebagai kota dengan nuansa pedesaan yang
kental. Ini, saya kira, salah satu yang membuat Bandung menjadi kota
yang khas pulau Jawa dan Indonesia umumnya.
Kondisi ini berbeda dengan Paris atau
kota-kota Eropa lainnya karena desain hunian di sana seluruhnya model
apartemen atau flat. Kepadatan populasi kota Bandung telah mulai
diantisipasi. Para pengembang dewasa ini, yang sebelumnya mengikuti
model hunian model pedesaan warisan Belanda, mulai membangun hunian
model apertemen atau rumah susun.
Perbedaan skala kota terletak pada
kondisi Paris yang ibukota sebuah negara dengan kondisi ekonomi,
politik dan budaya yang mapan, sedang Bandung ibu kota provinsi negara
dengan kondisi yang masih bergerak tumbuh. Meskipun itu bukan halangan
untuk membangun Bandung menjadi kota yang lebih nyaman dihuni, lebih
indah dinikmati.
Paris sejak lama dikenal dengan
cafe-cafenya. Bandung sebagai kota tempat plesiran di akhir pekan
sebagaimana jadi ciri khas Bandung tempo dulu, masih berlaku hingga
sekarang. Bedanya kalau dulu pendatangnya adalah para juragan
perkebunan, sekarang warga Jakarta dan kota di sekitar Bandung. Kondisi
ini menumbuhkan bermacam kegiatan ekonomi terutama wisata belanja
termasuk kuliner dalam bentuk rumah makan dan cafe. Tinggal bagaimana
membuat solusi dari konsekuensi itu karena pada akhir pekan sering
terjadi kemacetan luar biasa.
Sebagai Paris di pulau Jawa, tentu
Bandung tidak harus meniru Paris, namun memang masih diperlukan lebih
banyak upaya untuk membuatnya lebih terasa sebagai rumah yang nyaman
bagi warganya dan ramah pada mereka yang datang untuk berakhir pekan.
.
Jamaludin Wiartakusumah
Dosen Desain Itenas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar