Adat yang Selaras Ajaran Islam
Kentongan ditabuh 11 kali. Gemanya menyebar ke
seantero Kampung Naga, permukiman suku Naga di Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat. Ateng Djaelani, 58 tahun, seorang lebai
atau pemuka agama Kampung Naga, segera beranjak dari duduknya. Ia
mengambil totopong, ikat kepala khas suku Naga, dan kain
sarung.
Hari itu, Jumat, sekitar pukul 11 siang, warga kampung siap
melaksanakan salat Jumat. Ateng tak segera berangkat ke masjid yang
berjarak beberapa langkah dari rumahnya. Ia dan kebanyakan warga lainnya
baru akan beranjak ke masjid 15 menit menjelang azan dikumandangkan.
Sebelum azan, kentongan dipukul lagi beberapa kali yang diikuti dengan
beduk.
Pada Jumat terakhir sebelum Ramadan lalu, Kampung Naga kedatangan
rombongan pelajar yang tengah berwisata. Mereka berbaur dengan penduduk
kampung melaksanakan salat Jumat. Ruangan masjid berukuran 10 x 10 meter
itu dijejali jamaah. Biasanya, jika tak ada wisatawan, ruang masjid
hanya terisi tiga perempatnya. Maklumlah, kampung seluas 4 hektare itu
hanya dihuni 314 warga.
Pada kesempatan itu, Danu, 64 tahun, ketua pengurus masjid, bertindak
selaku khatib dan imam salat Jumat. Ia berceramah selama 15 menit
menggunakan bahasa Sunda, diselingi dengan doa dan bacaan rukun khotbah
Jumat yang berbahasa Arab. Tak ada pengeras suara, karena warga Kampung
Naga tak mengenal listrik.
Selagi kaum pria melaksanakan salat, kaum wanitanya sibuk memasak
makanan untuk acara pengajian yang dilaksanakan setelah salat Jumat.
Usai salat, kaum wanita berdatangan ke masjid membawa makanan yang
disusun dalam kotak-kotak makanan untuk dibagikan kepada para jamaah.
Pada hari itu, yang menjadi penceramah pengajian adalah Ustad Andi Ahmad
Jahid dari Kantor Urusan Agama (KUA) Sukaresik, Tasikmalaya.
Temanya seputar keutamaan memelihara akhlak yang baik dalam kehidupan
bermasyarakat. Pengajian ini rutin diadakan di Kampung Naga pada Jumat
terakhir setiap bulan. Penceramahnya adalah para penyuluh agama Islam
dari Departemen Agama yang ditempatkan di KUA-KUA setempat. Warga
Kampung Naga antusias mengikuti pengajian bulanan yang berlangsung sejak
dua tahun silam itu.
Masjid dipenuhi jamaah laki-laki dan perempuan, tua, muda, dan
anak-anak. Selain pengajian bulanan, setiap sore juga diadakan pengajian
rutin selepas salat magrib untuk anak-anak. Di sana mereka diajari tata
cara salat, membaca Al-Quran, dan pelajaran agama lainnya.
Nuansa religius kental mewarnai kehidupan warga Kampung Naga. Seluruh
penduduknya menganut Islam, sembari menjalani tradisi keberagamaan yang
unik. Mereka memadukan ajaran Islam dengan tradisi adat Sunda secara
harmonis sebagai rujukan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Misalnya, dalam perhitungan waktu, masyarakat Kampung Naga memakai
perhitungan berdasarkan bulan dalam penanggalan Hijriah seperti Muharam,
Syawal, Zulhijah, dan Ramadan. Namun mereka menggunakan bilangan tahun
yang berasal dari tradisi Sunda. Warga Kampung Naga mengenal delapan
kategori tahun, dimulai dari tahun alif, he, jim
awal, ze, dal, wau, dan jim akhir.
Kalender delapan tahunan ini dalam tradisi Jawa disebut windu. Nama
tahun yang digunakan suku Naga sama dengan yang berlaku di kalangan
masyarakat Jawa tradisional. Jika bilangan tahun Hijriah dan Masehi
tidak berulang, maka bilangan tahun dalam tradisi Kampung Naga akan
selalu berulang setiap delapan tahun. ”Hidup itu tidak lurus, tapi
melingkar. Orang hidup di dunia untuk kembali lagi ke akhirat,” kata
Ateng, menjelaskan makna bilangan tahun yang berulang itu.
Dengan hitung-hitungan itulah, masyarakat Kampung Naga menentukan
waktu-waktu yang cocok untuk bercocok tanam dan perhitungan hari baik
lainnya. Perpaduan antara Islam dan tradisi juga terlihat pada cara
masyarakat Kampung Naga menyambut hari-hari besar Islam. Setiap
menyambut hari besar Islam, seperti Tahun Baru Hijriah di bulan Muharam,
Maulid Nabi Muhammad, Idul Fitri, dan Idul Adha, masyarakat Kampung
Naga mengadakan upacara yang disebut hajat sasih.
Hajat sasih adalah serangkaian upacara yang bertujuan
menghormati leluhur, sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Allah atas
segala nikmat yang telah diberikan. Dengan begitu, mereka berharap
mendapat berkah dalam menjalani kehidupan. Dalam menyambut Ramadan kali
ini, misalnya, masyarakat Kampung Naga mengadakan upacara hajat
sasih dua pekan menjelang puasa.
Rangkaian upacaranya selalu sama, yakni dimulai dengan mandi di
Sungai Ciwulan, yang melintasi wilayah Kampung Naga. Tujuannya,
menyucikan diri dari segala kotoran. Setelah itu, para warga berwudu dan
mengenakan pakaian adat berupa gamis putih beserta totopong,
lalu berbaris rapi menuju masjid.
Sebelum memasuki masjid, mereka mencuci kaki dan melakukan gerakan
menghormat ke arah masjid dengan menangkupkan telapak tangan di dada
seraya membungkukkan badan. Maknanya adalah menghormati tempat ibadah
dan merendahkan diri di hadapan Allah Yang Mahabesar.
Setelah itu, mereka duduk sembari memegang sapu lidi yang akan
digunakan untuk membersihkan makam leluhur Kampung Naga. Makam itu
terletak di bukit di sebelah barat kampung, di dalam sebuah hutan
keramat yang disebut Leuweung Larangan. Ada dua hutan larangan (keramat)
di Kampung Naga. Yang pertama di sebelah barat, yang satu lagi di
sebelah timur.
Hutan larangan di sebelah timur tabu dimasuki warga. Sedangkan hutan
yang di barat boleh dimasuki warga pada saat-saat tertentu. Orang luar
kampung tidak diperkenankan masuk ke areal hutan dan makam. Ada tiga
makam yang dipercaya sebagai makam Eyang Singaparana dan dua
pengikutnya, cikal bakal penduduk Kampung Naga.
Ketika warga berkumpul di masjid, para tetua adat, seperti kuncen, lebai,
dan punduh, berjalan menuju Bumi Ageung (rumah besar tempat
penyimpanan pusaka). Hanya kuncen yang diperbolehkan masuk ke Bumi
Ageung, yang juga dikeramatkan untuk menyiapkan perlengkapan
membersihkan makam.
Setelah siap, warga dipimpin kuncen memasuki areal makam. Lalu kuncen
membakar kemenyan dan meminta izin kepada arwah Eyang Singaparana
sambil menghadap ke arah kiblat. Selanjutnya warga membersihkan makam
dengan sapu lidi yang dibagikan di masjid.
Usai membersihkan makam, kuncen mempersilakan lebai
mempimpin doa dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran. Setelah berdoa,
para peserta bersalaman dengan kuncen, lalu berjalan keluar areal makam.
Perkakas yang digunakan untuk membersihkan makam, seperti sapu lidi,
kemudian dicuci di Sungai Ciwulan, selajutnya disimpan di plafon masjid.
Upacara kemudian diteruskan di dalam masjid, dengan pembacaan doa.
Sebelum membaca doa, kuncen dan lebai berkumur terlebih
dahulu untuk membersihkan mulut dari segala kotoran. Setelah itu, kuncen
membakar kemenyan dan membaca doa pembukaan. Lalu pembacaan doa
dilanjutkan oleh lebai dan diakhiri dengan pembacaan surat Al-Fatihah.
Setelah itu, berakhirlah rangkaian upacara hajat sasih, dan
para peserta diperkenankan memakan nasi tumpeng yang disediakan.
Selain rituat hajat sasih, Kampung Naga juga mengenal
tradisi menyepi yang dilakukan setiap Selasa, Rabu, dan Sabtu. Sifatnya
individual alias diserahkan pada kesanggupan tiap-tiap individu untuk
melaksanakannya. Inti menyepi ini adalah menghindari diri dari berkata
yang sia-sia.
Tak ada yang tahu sejak kapan ajaran Islam masuk ke Kampung Naga.
Menurut Ateng, sejak awal terbentuknya, masyarakat Kampung Naga sudah
memeluk agama Islam. Menurut kepercayaan, warga Kampung Naga adalah
keturunan Kerajaan Galunggung Islam. Mereka keturunan Eyang Singaparana,
anak bungsu Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung ke-7.
Kerajaan Galunggung diserbu Pajajaran pada 1520-an. Penyebabnya,
penduduk Kerajaan Galunggung memeluk agama Islam, sehingga Raja
Pajajaran pada saat itu, Prabu Surawisesa, menganggap Galunggung
memberontak. Menghadapi serbuan itu, Prabu Rajadipuntang menyerahkan
seluruh harta pusaka kerajaan kepada Singaparana, yang kemudian lari
bersembunyi.
Diperkirakan, tempat persembunyiannya ada di wilayah Kampung Naga
sekarang ini. Namun orang Kampung Naga sendiri mengaku tak tahu-menahu
sejarah awal keberadaan mereka, selain kepercayaan bahwa mereka adalah
keturunan Eyang Singaparana. Pusaka dan catatan sejarah penginggalan
Eyang Singaparana, yang disimpan di Bumi Ageung, musnah terbakar ketika
kampung itu diserang pasukan DI/TII pada 1956.
Pada waktu itu, rumah penduduk, lumbung padi, Bumi Ageung, dan harta
benda milik warga ludes dibakar. Warga kampung, termasuk Ateng yang pada
waktu itu baru berusia enam tahun, mengungsi ke wilayah lain. Serangan
itu terjadi lantaran penduduk Kampung Naga dianggap menjalankan tradisi
sesat.
Tradisi keberagamaan Kampung Naga yang unik memang kerap dituding
sesat oleh sebagian kalangan. Bahkan pernah suatu ketika, ada warga
Kampung Naga sendiri yang beranggapan demikian setelah menuntut ilmu di
pesantren. Sebuah tesis yang ditulis Syukriadi Sambas mengisahkan, pada
1966 ada seorang warga Kampung Naga yang pulang dari pesantren. Dari
pengalamannya menimba ilmu itu, ia berkesimpulan bahwa tradisi di
Kampung Naga –terutama tradisi bercocok tanamnya– bertentangan dengan
ajaran Islam.
Tradisi bercocok tanam masyarakat Kampung Naga memang unik. Setelah
dilakukan perhitungan waktu yang tepat oleh kuncen, kaum laki-laki pergi
ke sawah masing-masing untuk membakar dupa, pertanda akan dimulainya
musim tanam. Lalu warga membaca doa berikut: ”Allahumma puter giling
tulak bala saking gumiling aya di wetan bilih balai aya di wetan pulang
deui ka wetan tunggal hurip ku kersaning Allah, laa ilaha ilallah,
selamet.”
Setelah itu, dimulailah prosesi penanaman padi. Tradisi yang dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam inilah yang diubah oleh si santri.
Kuncen atau pemimpin adat Kampung Naga pada waktu itu, Djaja Sutidja,
menerima kritik itu dan mengikuti keinginan si santri. Maka, penanaman
padi ketika itu disesuaikan dengan perhitungan tata cara yang biasa
dilakukan masyarakat umum. Namun, anehnya, hasil pertanian gagal,
padi-padi diserang hama wereng sehingga rusak.
Dari kejadian itu, masyarakat Kampung Naga belajar bahwa untuk urusan
keduniaan seperti waktu dan tata cara tanam padi memang tidak khusus
diatur dalam Islam. Karena itu, bagi mereka, tak soal jika menggunakan
sistem perhitungan di luar batas ajaran Islam. Tradisi perhitungan tanam
padi pun tetap dipertahankan seperti semula.
Selain itu, menurut cerita Ateng, pernah pula pada pertengahan
1990-an ada sekelompok orang yang mengaku dari aliran Islam tertentu
mengajak warga meninggalkan tradisi mereka. ”Kami diminta mengikuti
ajaran yang mereka bawa karena kami dituding sesat,” kata Ateng. Upaya
ini gagal karena warga tidak menggubrisnya. Kelompok itu pun pergi dan
tak pernah kembali.
Upaya-upaya mengintervensi keyakinan warga Kampung Naga praktis
berhenti beberapa tahun belakangan, setelah pihak Departemen Agama turun
tangan melakukan pembinaan rohani masyarakat. Pembinaan keagamaan ini,
menurut Andi Ahmad Jahid, bukan untuk meluruskan tradisi keagamaan
masyarakat yang sesat. ”Saya tidak melihat ada yang menyimpang pada
ibadah keagamaan di sini,” kata Andi. Menurut dia, tata cara ibadah
masyarakat Kampung Naga tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Karena itu, tujuan pengajian rutin oleh Departemen Agama adalah untuk
membina akhlak masyarakat Kampung Naga yang menurut dia sudah baik.
”Kami menjaga, jangan sampai masyarakat kampung mendapat pengaruh buruk
dari luar,” tuturnya.
Bukti bahwa masyarakat Kampung Naga tidak sesat, kata Andi, mereka
tidak menjalani kehidupan yang eksklusif dan tertutup. Mereka tetap
menghormati lembaga-lembaga pemerintahan daerah dan pusat. Selain
lembaga adat yang dipimpin kuncen, lebai, dan punduh,
masyarakat Kampung Naga juga mengenal lembaga seperti RT, RW, dan lurah.
Untuk urusan warga seperti pengurusan kartu tanda penduduk dan akta
kelahiran, warga kampung menyerahkan urusannya kepada Risman, sang ketua
RT. Untuk urusan pernikahan pun, mereka patuh pada aturan dari KUA, dan
syarat rukunnya dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Sementara itu,
untuk bersekolah, anak-anak Kampung Naga bersekolah di SD, SMP, dan SMA
yang ada di wilayah Kabupaten Tasikmalaya.
Tudingan sesat, menurut Danu, ketua pengurus masjid Kampung Naga,
muncul karena orang-orang di luar kampung tak memahami keunikan tradisi
keberagamaan Kampung Naga. ”Sehingga muncul anggapan bahwa kami
mencampuradukkan agama dan adat,” kata Danu. Padahal, tradisi adat hanya
dijalankan dalam konteks muamalah, semisal pernikahan, perhitungan
waktu tanam padi, atau memperingati hari-hari besar agama.
Sementara itu, untuk peribadatan, menurut Danu, warga Kampung Naga
mengikuti tradisi ahlusunah waljamaah. Rukun-rukun dalam peribadatan
masyarakat Kampung Naga, seperti salat, zakat, dan puasa, tak berbeda
dari masyarakat Islam Indonesia lainnya. Dengan begitu, keselarasan
ajaran adat dengan ajaran Islam tetap terjaga. ”Saya berharap,
masyarakat luar tak lagi salah paham pada tradisi keagamaan Kampung
Naga,” ujarnya.
Sumber : Majalah
GATRA
Bilih kuring mipit teu amit ngala teu bebeja, kalih bilih aya seratan nu teu kawidian pamugi neda widina. Hatur Nuhun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pangeran Jamban
Pentingna ngaji tepat waktu teh meureun sangkan henteu saliwang sok komo lamun nu diajina ilmu taohid. Salah saeutik oge apan anu tikosewad ...
-
Sisindiran téh asalna tina kecap sindir, anu ngandung harti omongan atawa caritaan anu dibalibirkeun, henteu togmol. Luyu jeung éta, dina s...
-
MOHON tidak berburuk sangka dulu, saya tidak berniat menulis seputar pornografi. Sengaja saya tulis dalam bahasa Indonésia, karena kata “mom...
-
Sikep idealis andika menyebabkan dia kesusahan menghindari hal yang bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Sumirah (umi) istrinya menj...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar