Sebentar lagi Bandung berulang tahun, tanggal 25 September yang ke-195. Bandung identik dengan etnik Sunda, Priangan atau Parahyangan. Bagaimana ceritanya? Panjang!
Tadinya saya hanya mencari-cari
asal-usul nama jalan di seputaran Dago, yaitu jalan Purnawarman,
Sawunggaling, Mundinglaya, Ciungwanara, Ranggagading, Ranggamalela,
Ranggagempol, Hariangbanga, Geusan Ulun, Adipati Kertabumi, Dipati Ukur,
Suryakancana, Wira Angunangun, Ariajipang, Prabu Dimuntur, Bahureksa,
Wastukancana, Gajah Lumantung, Sulanjana, Badaksinga, Bagusrangin,
Panatayuda, dan Singaperbangsa. Tidak banyak yang saya dapat dari
pencarian Google, juga tidak punya buku referensi untuk saya dongengkan
kembali. Jadi hanya saya tulis asal-usul Sunda saja, mungkin nanti saya
temukan juga dongeng atau pun sejarah tentang nama-nama
jalan di atas.
Disadur, diringkas, dipotong dan
didongengkan kembali oleh saya dari situs catatan
sejarah kota Bogor. Silakan baca langsung sumbernya jika anda
berminat membaca lebih detil.
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja
Purnawarman dalam tahun 397M untuk menyebut ibukota kerajaan
yang didirikannya, Tarumanagara. Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang
ke-13 ingin mengembalikan keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di
purasaba (ibukota) Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang
menunjukkan wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan
atau Pajajaran).
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh
Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.
Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Maharaja
Tarusbawa menerima tuntutan Raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
dengan Sungai Citarum sebagai batas (Cianjur ke Barat wilayah Sunda,
Bandung ke Timur wilayah Galuh).
Menurut sejarah kota Ciamis pembagian
wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
- Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
- Galuh Pakuan beribukota di Kawali
- Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
- Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
- Galuh Kalangon berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan
- Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
- Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
- Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
- Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
- Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan
Tarusbawa bersahabat baik dengan raja
Galuh Bratasenawa atau Sena. Purbasora –yang termasuk cucu pendiri
Galuh– melancarkan perebutan tahta Galuh di tahun 716M karena merasa
lebih berhak naik tahta daripada Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga
(istri Sena; Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).
Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas
kepada Purbasora. Sanjaya mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda
karena ia adalah menantu Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora
diserang habis-habisan hingga yang selamat hanya satu senapati kerajaan,
yaitu Balangantrang.
Sanjaya yang hanya berniat balas dendam
terpaksa harus naik tahta juga sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia
pun harus berada di Sundapura. Sunda-Galuh disatukan kembali hingga
akhirnya Galuh diserahkan kepada tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma
yang beristri Naganingrum yang memiliki anak bernama Surotama alias
Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora,
harus tunduk kepada Sanjaya yang membunuh kakeknya, tapi juga hormat
karena Sanjaya disegani, bahkan disebut rajaresi karena nilai
keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat seperti Purnawarman. Premana
menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga kerajaan Sunda– sebagai ikatan
politik.
Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta
Kerajaan Medang dari orang tuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa
Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara putranya, Tamperan dan
Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan,
sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru
Demunawan.
Premana akhirnya lebih sering bertapa
dan urusan kerajaan dipegang oleh Tamperan yang merupakan ‘mata dan
telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan terlibat skandal dengan Pangreyep hingga
lahirlah Banga (dalam cerita rakyat disebut Hariangbanga).
Tamperan menyuruh pembunuh bayaran membunuh Premana yang bertapa yang
akhirnya pembunuh itu dibunuh juga, tapi semuanya tercium oleh
Balangantrang.
Balangantrang dengan Manarah
merencanakan balas dendam. Dalam cerita rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung
Wanara. Bersama pasukan Geger Sunten yang dibangun di wilayah
Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam semalam, semua ditawan kecuali
Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga membebaskan kedua orang tuanya
hingga terjadi pertempuran yang mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep
tewas serta Banga kalah menyerah.
Perang saudara tersebut terdengar oleh
Sanjaya yang memimpin Medang atas titah ayahnya. Sanjaya kemudian
menyerang Manarah tapi Manarah sudah bersiap-siap, perang terjadi lagi
namun dilerai oleh Demunawan, dan akhirnya disepakati Galuh diserahkan
kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.
Konflik terus terjadi, kehadiran orang
Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara
umum, sama halnya dengan kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang
Sunda di Galuh. Karena konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru
selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi
pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu
berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895M
sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh
iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat.
Dari segi budaya orang Sunda dikenal
sebagai orang gunung karena banyak menetap di kaki gunung dan orang
Galuh sebagai orang air. Dari faktor inilah secara turun temurun dongeng
Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya disampaikan.
Hingga pemerintahan Ragasuci
(1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser ke arah timur ke Saunggalah
hingga sering disebut Kawali (kuali tempat air). Ragasuci sebenarnya
bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu Jayadarma, beristrikan Dyah
Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki putra mahkota Sanggramawijaya,
lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Jayadarma kemudian
wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya tidak ingin tinggal di Pakuan,
kembali ke Jawa Timur.
Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit
yang besar, hingga jaman Hayam Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan
seluruh nusantara, kecuali kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin
Linggabuana, yang gugur bersama anak gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi
pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton
Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Menurut Kidung Sundayana, inti kisah
Perang Bubat adalah sebagai berikut (dikutip dari JawaPalace):
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri. Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.
Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa menjerit meminta pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.
Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung.
Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh
Niskala Wastukancana, turun temurun hingga beberapa puluh tahun
kemudian Kerajaan Sunda mengalami keemasan pada masa Sri Baduga
Maharaja, Sunda-Galuh dalam prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri
Baduga disebut oleh rakyat sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota
pindah ke barat.
Menurut sumber Portugis, di seluruh
kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri
memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya
memiliki 6 buah Jung (kapal laut model Cina) untuk perdagangan
antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000
ekor/tahun).
Selain tahun 1511 Portugis menguasai
Malaka, VOC masuk Sunda Kalapa, Kerajaan Islam Banten, Cirebon dan Demak
semakin tumbuh membuat kerajaan besar Sunda-Galuh Pajajaran semakin
terpuruk hingga perlahan-lahan pudar, ditambah dengan hubungan dagang
Pajajaran-Portugis dicurigai kerajaan di sekeliling Pajajaran. Stop.
Lanjut!
Setelah Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran
memudar kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan Pajajaran mulai
bangkit dan berdiri-sendiri, salah satunya adalah Kerajaan Sumedang
Larang (ibukotanya kini menjadi Kota Sumedang). Kerajaan Sumedang Larang
didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Adji Putih atas perintah Prabu
Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan kembali ke Pakuan
Pajajaran, Bogor.
Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan
Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama
(terutama penyebaran Islam), militer dan politik pemerintahan. Setelah
wafat pada tahun 1608, putranya, Pangeran Rangga Gempol
Kusumadinata/Rangga Gempol I atau yang dikenal dengan Raden Aria
Suradiwangsa naik tahta. Namun, pada saat Rangga Gempol memegang
kepemimpinan, pada tahun 1620M Sumedang Larang dijadikan wilayah
kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya
sebagai ‘kerajaan’ diubah menjadi ‘kabupaten’.
Sultan Agung memberi perintah kepada
Rangga Gempol I beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke
Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan sementara diserahkan kepada
adiknya, Dipati Rangga Gede. Hingga suatu ketika, pasukan Kerajan Banten
datang menyerbu dan karena setengah kekuatan militer kabupaten Sumedang
Larang diberangkatkan ke Madura atas titah Sultan Agung, Rangga Gede
tidak mampu menahan serangan pasukan Banten dan akhirnya melarikan diri.
Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati
Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati
Ukur. Sekali lagi, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk
bersama-sama pasukan Mataram untuk menyerang dan merebut pertahanan
Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada akhirnya menemui kegagalan.
Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak dilaporkan segera kepada Sultan
Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari pertanggungjawabannya dan
akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas informasi mata-mata
Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.
Setelah habis masa hukumannya, Dipati
Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang,
sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis) dibagi
kepada tiga bagian; Pertama, Kabupaten Bandung, yang dipimpin oleh
Tumenggung Wiraangunangun, kedua, Kabupaten Parakanmuncang oleh
Tanubaya dan ketiga, kabupaten Sukapura yang dipimpin oleh Tumenggung
Wiradegdaha atau R. Wirawangsa atau dikenal dengan “Dalem Sawidak”
karena memiliki anak yang sangat banyak.
Selanjutnya Sultan Agung mengutus
Penembahan Galuh bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda
atau Adipati Kertabumi III (anak Prabu Dimuntur,
keturunan Geusan Ulun) untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur
Citarum). Selain itu juga mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura,
Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng
tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat. Nama
Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi
daerahnya berawa-rawa, karawaan.
Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat
putra Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem
(Bupati) di Karawang, pada Tahun 1656M. Adipati Kertabumi IV ini juga
dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung,
dengan ibu kota di Udug-udug. Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta
putra Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara
Tahun 1679M dan 1721M ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke
Karawang. Stop.
Jadi nama jalan Sawunggaling,
Mundinglaya, Ranggagading, Ranggamalela, Suryakancana, Ariajipang,
Bahureksa, Gajah Lumantung, Sulanjana, Badaksinga dan Bagusrangin belum
saya temukan dongeng atau sejarahnya, sebagian –kalau tidak salah ingat–
adalah tokoh-tokoh dalam cerita rakyat Lutung Kasarung.
Sumber
: http://yulian.firdaus.or.id/2005/09/23/sundapura/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar