29 Desember 2009

Cerita Kancra dan Ciwulan

Bagi sebagian masyarakat Kuningan dan Sumedang, nama kancra sudah tidak asing. Kancra adalah sebutan bagi salah satu ikan air tawar yang banyak dijumpai di sekitar Cigugur dan Cibulan, Kuningan, terutama di kolam-kolam tua. Julukan lengkapnya adalah kancra bodas atau lauk karamat.
Karena adat, tidak seorang pun diperkenankan menangkapnya. Adapun di kolam-kolam seputar Cibeureum dan Cimalaka, Sumedang, termasuk Sungai Cimanuk, ikan tersebut masih sering dijumpai serta biasa diperjualbelikan.
Di Sumatera Utara, ikan itu dikenal sebagai ikan batak. Seperti halnya di Kuningan, keberadaannya sering dikaitkan dengan adat dan budaya setempat. Di Sumatera bagian selatan, namanya ikan semah, di Kalimantan disebut ikan sapan, sedangkan di Malaysia disebut ikan kelah atau ikan mahseer.
Lain lagi di Ciamis. Sebutan kancra ditujukan pada ikan mas. Karena itu, bila kita berencana mendapatkannya di Ciamis, diperlukan kehati-hatian karena sebagian warga Ciamis masih menyebut kancra untuk ikan mas.
Memiliki tekstur daging yang pejal dan rasa gurih, kancra disukai berbagai kalangan sehingga berprospek ekonomi tinggi. Namun, disayangkan, kini di beberapa daerah jenis ikan ini sulit diperoleh dan diperkirakan terancam punah. Tak mengherankan, harga jualnya pun cukup aduhai. Harga jual di Sumedang Rp 100.000-Rp 150.000 per kilogram, di Sumatera Rp 200.000 per kg, sedangkan di Malaysia Rp 400.000 per kg.
Di Tasikmalaya, kancra tinggal cerita. Keberadaannya sudah sangat jarang ditemukan. Padahal, tidak sedikit orang menyukainya walaupun jenis ikan ini bukan hasil budidaya karena diperoleh dari tangkapan di sungai. Salah satu sungai yang berjasa menyediakan kancra adalah Ciwulan, sungai yang membelah Mangunreja dan Singaparna, ibu kota Kabupaten Tasikmalaya. Habitatnya memungkinkan
Ikan kancra (Tor soro) adalah sinonim dari Labeobarbus, salah satu jenis ikan air tawar yang mempunyai nilai budaya dan ekonomi penting. Bentuk tubuhnya memanjang mirip torpedo (stream line). Hal itu bisa dimaklumi karena habitatnya khas, yaitu perairan sungai beraliran deras, jernih, dan berbatu.
Ikan kancra tergolong ikan endemik berukuran relatif besar dan masih berkerabat dekat dengan ikan mas. Panjang tubuhnya bisa mencapai 1 meter. Sifat hidupnya omnivora atau pemakan segala dengan makanan utama berupa buah-buahan, kerang-kerangan kecil (moluska), dan serangga.
Sekitar 50 tahun lalu Sungai Ciwulan dikenal sebagai sumber kancra di Tasikmalaya dan diperkirakan menjadi habitat serta tempat pemijahan yang memadai. Hal itu bisa dimengerti karena kondisi Ciwulan saat itu termasuk memenuhi persyaratan bagi kelangsungan hidup kancra.
Cerita yang berkembang di masyarakat, berpuluh-puluh ekor ikan kancra setiap minggu dengan variasi ukuran 3-10 kg per ekor tertangkap warga dengan alat tradisional berupa heurap (jala), cabol (semacam jaring insang), dan gawul ataupun badodon (alat perangkap).
Para penangkap kancra umumnya adalah warga yang berada di seputar aliran Ciwulan, termasuk anak sungainya, Ciramajaya. Sebagian warga memanfaatkan keahlian "berburu" ikan sambil rekreasi. Namun, ada pula yang menjual hasilnya. Perburuan biasa dilakukan berkelompok pada suatu tempat atau kawasan sungai yang airnya relatif tenang (ngeuyeumbeu), daerahnya agak terlindung, bertebing, dan sekitarnya bervegetasi agak lebat.
Kawasan semacam itu mereka namakan leuwi. Ada sejumlah leuwi yang konon dianggap paling disukai kancra "berruaya", semacam area pemancingan, di antaranya Leuwi Banen, Dawagung, Batalengsar, dan Beleketek.
Ketika "komandan" kelompok, layaknya fishing master, memberikan aba-aba, sebagian anggota beralatkan heurap langsung mengepung area sasaran dan sebagian lagi membawa cabol untuk mempersempit lokasi di mana kancra berada. Pada bagian hilir, kelompok lain sengaja memasang gawul dan badodon.
Gawul ditempatkan di antara deretan batu. Adapun badodon berukuran jauh lebih besar, bagian "mulutnya" menganga hampir menutupi lebar sungai. Alat ini bersifat menadah ikan yang lolos dari kepungan. Baik gawul maupun badodon terbuat dari batangan dan pilahan bambu. Kadang-kadang kedua alat tersebut ditempatkan permanen dengan rapi pada alur sungai.
Saat pengepungan tidak sedikit kancra yang lolos malah "melompat" ke permukaan air, selanjutnya memasuki habitat baru Sungai Ciramajaya, menjadikan daerah perburuan semakin meluas.
Di Kampung Warung Legok-Mangunreja pernah terbentuk kelompok Warlok (akronim dari Warung Legok) beranggotakan belasan orang yang berprofesi khusus menangkap ikan menggunakan heurap. Kancra menjadi salah satu target buruannya. Ketika masih hidup, nama Aki Kahdi, Abah Koyon, dan Abah Rusidi dikenal sebagai jawara menangkap kancra dan selalu berperan sebagai fishing master.
Dalam kegiatan berburu seperti itu ternyata kerap diperoleh juga jenis ikan lain, seperti beureum panon (Puntius sp), caung (Mystis sp), nilem (Osteochilus sp), kekel (Glyptothorax sp), lalawak/balar (Barbodes sp), dan genggehek (Mystacoleuces sp).
Adapun menangkap kancra dengan pancing dilakukan orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu pula. Tidak setiap orang mampu dan tidak semua tempat memenuhi syarat memancing. Untuk menetapkan lokasi memancing, mesti diketahui tanda-tanda alam terlebih dahulu, seperti munculnya riak air dan semilir angin.
Dibutuhkan waktu tidak kurang dari lima jam sejak nataran, saat ikan terkena mata pancing, hingga tertangkap. Sebelum kancra menyerah biasanya tukang pancing bergerak sampai ratusan meter mengikuti ke mana arah ikan menarik pancing. Aki Iing juga berasal dari kampung yang sama. Semasa hidupnya ia dianggap kampiun memancing kancra. Setiap minggu minimal dua ekor ikan tertangkap dengan ukuran di atas 3 kg per ekor. Lakukan penebaran
Keberadaan ikan kancra di Ciwulan telah memberikan bukti tambahan bahwa selain masyarakatnya piawai menekuni budidaya ikan, Tasikmalaya di sisi lain juga memiliki "kreasi" perikanan berikut jenis ikan yang cukup lengkap. Namun, sejak Gunung Galunggung meletus pada 1982, mulai terungkap bahwa hewan air ini seakan lenyap dari bumi Tasikmalaya. Akhirnya, sosok kancra kini tinggal cerita indah yang diestafetkan ke setiap generasi.
Kelangkaan kancra telah terjadi di mana-mana. Akan tetapi, keberhasilan teknologi pembuahan buatan di beberapa daerah seakan membuka jalan bagi reinkarnasi ikan yang terancam punah. Walau kondisi Ciwulan tidak seutuh tempo dulu, tampaknya upaya mengembalikan pamor Ciwulan sebagai basis kancra perlu dibangkitkan. Salah satu solusinya, pemerintah segera melakukan penebaran dengan ikan sejenis berikut pemberlakuan berbagai ketentuan pengelolaan perairan umum. MUHAMAD HUSEN Ketua Biro Perikanan Budidaya DPD HNSI Jawa Barat; Pengurus Masyarakat Perikanan Nusantara

Tidak ada komentar:

Pangeran Jamban

Pentingna ngaji tepat waktu teh meureun sangkan henteu saliwang sok komo lamun nu diajina ilmu taohid. Salah saeutik oge apan anu tikosewad ...