Secara umum wayang merupakan seni kalangenan yang sangat akrab bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terutama masyarakat pulau Jawa. keberadaanya terus berdenyut dalam nadi budaya bangsa Indonesia . Wayang dengan bentuk pagelarannya merupakan karya cipta asli bangsa Indonesia yang diakui oleh UNESCO sebagai karya adiluhung dunia. Tahun 1988 dipulau Jawa terdapat kurang lebih 40 jenis wayang yang digolongkan menurut ceritanya, cara pentas dan cara pembuatannya. Kini hampir sepertiganya telah punah.
Menyusuri
keberadaan wayang harus seiring dengan sejarah perkembangan agama Hindu
di Indonesia. Bukti awal tentang keberadaan wayang termaktub
diantaranya dalam prasasti Tembaga yang bertahun 840 M ( 762 Saka ),
isinya menyebutkan salah satu jenis pekerjaan yang bernama “aringgit”
yang mengandung arti tukang wayang atau dalang. Tukang Wayang atau
aringgit ini juga dikenal dengan nama “jurubrata” yaitu orang yang mampu medar lalakon turunan Barata, sama halnya dengan sebutan jurupantun yaitu orang yang mampu medar cerita pantun.
Kemudian dalam prasasti Ugrasena (
896 M ) menyebutkan beberapa kelompok kesenian, diantaranya yang
disebut “parbwayang”, atau pertunjukan wayang. Prasasti Balitung ( 907
M/829 saka) juga menyiratkan keberadaan wayang yang tertera dalam
kalimat “ Sigaligi mawayang buat Hyang, macarita Bhima Kumara. Bahkan
menurut sumber lain ( Jajang Suryana, 2001 ) bukti lebih tua dari yang
tercatat dalam Prasasti Tembaga, bahwa sekitar 778 M masa
Wangsa Syailendra hingga 907 M masa Wangsa Sanjaya keberadaan wayang,
terutama wayang kulit telah ada dan sering menampilkan cerita
tentang roh nenek moyang, selanjutnya setelah adanya akulturasi dari
agama Hindu cerita Ramayana dan Mahabharata mulai populer.
Wangsa
Sanjaya memliki kepekaan yang lebih kental dalam menafsirkan ajaran
Hindu Civa yang menjadi agama resmi mataram kuno saat itu. Hal tersebut
diwujudkan dengan mendirikan komplek percandian di Dieng yang semua
unsurnya, baik nama, arsitektur, maupun lokasinya diambil dari kitab
Mahabharata. Sehingga seluruh tempat di Dieng sarat
nuansa pewayangan dari nama Kawah, telaga, sampai nama candi yang
terbagi dalam empat komplek, yakni
kelompok Candi Dwarawati dan Parikesit, kelompok Candi Dwarawati Timur,
kelompok Candi Setyaki, Ontorejo, Petruk, Nala Gareng, dan
Nakula-Sadewa, serta kelompok Candi Arjuna, Semar, Sembodro, Puntadewa,
dan Srikandi.
Satu hal menarik, ternyata candi-candi
Dieng diduga kuat dibuat oleh orang Sunda. Hal tersebut disitir oleh
Aan Merdeka Permana yang menyatakan bahwa ratusan tahun silam, seorang
putra Prabu Mandiminyak dari Kerajaan Galuh (702-709 Masehi) bernama
Senna melakukan pengembaraan ke wilayah Mataram Kuna. Sang Senna
akhirnya menjadi menantu penguasa Mataram. Dari perkawinan Sang Senna
dengan Sannaha, lahirlah Sanjaya, penguasa Mataram pada 732-754 Masehi.
Prabu Senna sendiri berkuasa di Mataram antara 716-723 Masehi.
Mungkin
saja lalakon Sang Sena yang melakukan pengembaraan dari Galuh ke
wilayah Jawa Tengah sampai akhirnya menjadi penguasa mataram
disemangati oleh beberapa parwa Mahabrata yaitu Sabhaparwa
(Pandawa sengsara) dan Wanaparwa (Pandawa berkelana). Dalam bagian
Wanaparwa diceritakan keberhasilan Pandawa membabat Alas Amer menjadi
sebuah kerajaan baru bernama Amarta dengan ibukotanya Indraprahasta dan
jika di teliti nama Amarta dengan Mataram memiliki kesamaan hurup vokal
dan konsonan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar