Umumnya
setiap candi hindu dihiasi dengan relief dari kisah-kisah wayang.
Ragmen-fragmen tersebut merupakan substansi ide yang akhirnya mendorong
kalangan para seniman pada waktu itu untuk memvisualkannya dalam bentuk
lainnya. Adanya indikasi demikian maka peranan candi hindu dimasa
Wangsa Sanjaya sebagai trah Galuh menjadi pemicu awal terciptanya seni
wayang di Nusantara.
Menurut
perkiraan para dalang berdasarkan cerita turun temurun. Wayang kulit
awal terbuat dari kulit kayu dengan dengan cerita berdasarkan
Mahabharata yaitu cerita Bhima Kumara. Selanjutnya muncul wayang yang dibuat dari daun lontar (disebut wayang purwa awal). Dalam cerita Jawa, yang memiliki wayang purwa adalah Sri Jayabaya, ketika bertahta di Mamongan, Kediri ( 939 M). terbuat
dari daun tal dan menggambarkan wajah para dewa, manusia jaman purba
atau purwa yang ditiru dari bentuk arca. Sedangkan wayang yang terbuat
dari kulit binatang diciptakan oleh Raden Panji
Inukertapati pada 1223 M (Raden Panji Ksatriaan) ketika jumeneng jadi
Raja di Janggala. Tokoh yang berjuluk Prabu Surya Amisena ini
sebelumnya juga mengembangkan wayang daun tal.
Pada
jaman itulah pertunjukan wayang kulit dengan semua kelengkapanya mulai
terbentuk, termasuk tatabeuhan dengan laras salendro dan awal
penggunaan kakawen yang begitu berpengaruh kepada
perkembangannya. Kepopuleraan pertunjukan wayang juga tercantum dalam
Kakawih Arjunawiwaha yang digubah oleh Empu Kanwa sekitar abad ke 11.
Hal itu menandakan bahwa seni wayang saat itu telah berkembang dan
berpengaruh serta sangat digandrungi oleh masyarakat.
Kemunculan wayang kulit yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan Wayang Lontar ( sekitar 934 M), dan wayang kertas atau wayang beber
( sekitar 1140 M ), menjadi awal morfologi dimensi bentuk selanjutnya.
Pada tahun 1315 Raja Brawijaya V menciptakan wayang krucil atau wayang
klitik. Jenis ini merupakan boneka dengan bahan dasar kayu namun
bentuknya pipih, mendekati bentuk wayang kulit, sedangkan raut
tokoh-tokohnya merupakan tiruan dari raut wayang beber. barulah pada
awal abad ke 16 muncul wayang tiga dimensi yang disebut golek.
Perubahan ideologi agama dari masa Hindu dan Budha ke masa Islam juga berpengaruh kuat terhadap tatacara pagelaran wayang. Tahun 1515 Raden Patah yang berkuasa di Demak merubah
bentuk wayang agar tidak mirip manusia (karena diharamkan dalam ajaran
Islam). Penokohan wayang satu persatu dipisahkan mandiri dan tidak di
beberkan. Wayang tersebut terbuat dari kulit dan diberi sampurit
(jepitan) untuk menancabkan wayang. Namun belum ditatah, hanya diberi
warna saja untuk membedakan tokoh. Raden Patah dibantu oleh para wali
diantaranya Sunan Giri menciptakan keragaman tokoh wanara pada lakon Ramayana. Sunan Bonang menciptakan bentuk-bentuk binatang seperti gajah, kuda, garuda dll. Sunan Kalijaga mengatur kelir, gebog dan belincong. Sedangkan Raden Patah sendiri selain merubah gambar wayangnya juga menciptakan Gugunungan serta mengatur janturan wayang.
Karena ide Sunan Kalijaga yang menciptakan kelir, gebog dan belincong yang menimbulkan efek bayangan sehingga kemudian timbul anggapan bahwa wayang dimaknai sebagai bayang-bayang manusia
adalah berkat jasanya Sunan Kalijaga. Karena sebelumnya tidak ada
pagelaran wayang yang menggunakan bayangan sebagai titik tampilan,
sehingga pertunjukannyapun harus malam hari.
Saat
itu wayang kulit mencapai masa keemasannya. Bahkan oleh para wali
sering pagelaran wayang pergunakan sebagai media ampuh penyebaran agama
Islam. Menurut beberapa cerita, sunan Kalijaga mempunyai cara yang jitu untuk mengislamkan masyarakat yaitu
dengan menggratiskan setiap pagelaran. Dan penonton hanya diwajibkan
mengucapkan kalimah syahadat sebagai syarat menonton pagelaran.
Kehadiran
wayang trimatra baru muncul setelah perkembangan wayang dwimatra
semakin popular, Catatan khusus tentang wayang golek ditulis
diantaranya oleh MA Salmun dan R.M Ismunandar K, dengan kalimat senada
mereka menjelaskan bahwa pada abad ke 16 atau pada tahun 1583 M , Sunan
Kudus membuat wayang yang dapat dimainkan dengan kayu sehingga pertunjukan wayang dapat dilaksanakan pada siang hari karena sebelumnya pertunjukan wayang kulit harus dimalam hari.
Lebih rinci Ismunanrdar menjelaskan bahwa
bentuk wayang seperti boneka tersebut, mengambil bentuk ‘wayang purwo’
dengan cerita-cerita menak (berjumlah tujuh puluh buah), diiringi
gamelan salendro dan pertunjukanya tidak memakai kelir, hanya memakai plangkan ( tempat meletakan wayang golek yang terbuat dari kayu). Wayang ini di sebut wayang golek. Wayang jenis ini merupakan wayang yang
berdiri utuh, bukan lagi wayang sebagai penutup pada setiap pertunjukan
wayang kulit , seperti yang disebutkan oleh sejumlah penulis bahwa
setelah usai pertunjukan wayang kulit, biasanya menjelang akhir
pagelaran selalu ditampilkan tarian dengan menggunakan wayang golek
wanita dengan tokoh yang tidak terdapat dalam cerita wayang.
Pada Wayang Golek Sunda saat ini, tarian tersebut dikenal dengan istilah tari maktal yang dipakai di awal cerita. Golek sendiri dalam bahasa Jawa mengandung arti mencari
(nggoleki), dalam kaitannya sebagai penutup pagelaran dimaksudkan agar
penonton dapat mencari makna atau inti pelajaran dari cerita yang di
gelar. Di Jawa Barat keberadaan wayang disinyalir sudah ada sebelum
abad ke 16 M. hal itu tersurat dari sumber naskah sejarah yang bernama Sanghiang Siksa Kandang Karesian (Kropak No. 630).
Naskah
ini dianggap sebagai sumber sejarah yang lengkap karena mempunyai isi
semacam ensiklopedia tentang pemerintahan, kepercayaan , kebudayaan,
kesusastraan, pertanian, etika, kemiliteran dan lain-lain dari
masyarakat sunda. Naskah dengan candrasangkala “nora catur sagara wulan” atau 1440 saka ( 1518 M) merupakan petuah Sang Sadu sebagai prinsif hidup masyarakat sunda. Pada poin ke empat tertulis Mikukuh Darma Pitutur yang salah satunya petuahnya adalah menyangkut aspek budaya.
Khusus mengenai wayang, naskah ini menyebutkan : “
Hayang dek nyaho di sakweh ning carita ma, geus ma : Darmajati,
Sanghyang Hayu, Jayasena, Sedanama, Pujayakarna, Ramayana, Adiparwa,
Korawasrama, Bimasorga, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kalapurbaka, Jarini,
Tantri. Sing sawatek caritama, mamen Tanya ” , artinya : jika ingin tahu semua cerita seperti Darmajati …. Dst. Segala sifat cerita bertanyalah kepada memen ( dalang ). Istilah memen atau dalang juga disebut dalam kata yang berbeda, yaitu pada poin ke 5 yang disebut Ngawakan Tapa Di Nagara, tertulis kalimat “sing sawatek guna, aya ma satya diguna di kahulunan, eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara”.
Maksudnya, setiap orang yang memiliki keahlian, mulai dari anak gembala sampai kepada pembesar negara, membaktikan keahliannya ke pada negara dengan penuh kesetiaan. Aneka keahlian yang tersebut salah satunya adalah medu wayang atau
dalang wayang. Dari keterangan tersebut, keberadaan seni wayang di
tatar sunda sudah berkembang pada masa itu. Menilik naskah tersebut
yang memuat berbagai aspek budaya dengan lengkap, maka boleh jadi keberadaan wayang sendiri sudah ada pada masa-masa sebelumnya. Bahkan
tidak menutup kemungkinan keberadaaanya seiring dengan awal
perkembangan wayang jaman Mataram Kuno (masa wangsa Syailendra dan
Sanjaya, 778 M). Namun perkembanganya untuk menjadi seni pertunjukan,
tidak sepesat di wilayah Jawa. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan
pemahaman terhadap ajaran agama khususnya Hindu yang mengalami
akulturasi dengan ajaran asli sunda yaitu agama sanghyang.
Naskah
Sanghiang Siksa Kandang Karesian tidak menyebutkan jenis wayang yang
pernah ada pada masa itu, namun dapatlah ditarik kesimpulan sepertinya
para dalang ( memen / medu wayang ) mempagelarkan wayang dengan jenis
wayang kulit atau wayang beber, seiring dengan populernya wayang
tersebut di wilayah Jawa pada masa itu. Menurut MA Salmun pada buku Padalangan 2 yang dicetak tahun 1954 masuknya wayang ke sunda berkat jasa putra Prabu Surya Amisena yang bernama Maha Prabu Mahesa Tandreman (Prabu Surya Amiluhur) yang menjadi raja di Pajajaran setelah kerajaan
Janggala yang diperintah sebelumnya, hancur tersapu banjir besar.
(Namun keterangan tentang tokoh ini tidak cocok dengan kajian sejarah
sunda). Raja inilah yang mengembangkan wayang di Pajajaran. Malah tahun
1224 M , bahan wayang dari daun lontar diganti dengan daluang, sejenis kertas yang tebal dan liat terbuat dari papagan saeh. Ukurannya ditambah, baik tinggi maupun besarnya agar dapat terlihat dari jarak jauh.
Pada
saat penyebaran agama Islam di Jawa barat terutama di Cirebon, tahun
1479-1568 wayang kulit juga di manfaatkan oleh Sunan Gunung Jati
sebagai media pengislaman penduduk dengan menggunakan cara yang sama
dengan metode Sunan Kalijaga di Jawa Tengah. Daerah Sunda yang pertama
kali tersentuh oleh wayang golek yang diciptakan Sunan Kudus adalah
daerah Cirebon dengan nama Wayang Cepak yang mulai dikenal di abad ke
16 pada zaman Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati) . Setelah itu
kemudian tersebar ke berbagai daerah terutama setelah adanya jalan Pos
yang dibuat antara tahun 1808 sampai 1811 maka perkembangannya lebih
jauh masuk ke daerah priangan. Sedangkan wayang golek
purwa di sunda mulai dikenal di abad 19 dengan di bukanya jalan raya
Daendels yang menembus daerah pedalaman priangan.
Selain Wayang Golek yang mulai digemari di wilayah pedalaman, tumbuh pula varian
wayang lainnya. Seperti Wayang Wong Sunda dan Wayang Lilingong. Wayang
Lilingong bisa disebut sebagai tiruan dari konsep Wayang Krucil. Wayang
Suluh muncul di Jawa Tengah setelah usai Perang Dunia ke II yang
diciptakan oleh Generasi Baru Angkatan Muda Republik Indonesia
berdasarkan keputusan Kongres Pemuda RI ke 2 yang difungsikan untuk
memberi penerangan tentang arti dan tujuan perjuangan revolusi kepada
masyarakat yang buta huruf pada waktu itu. Ceritanya diangkat dari
kisah- perjuangan seperti Perang Surabaya, Linggarjati, dan Perundiangan Renville. Maka tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Bung Tomo Bung Hatta sampai van Mook dan Jendral Spoor pun diukir dari bahan kulit.
Sedangkan
di Jawa Barat muncul Wayang Golek Modern yang diciptakan oleh R.Umar
Partasuanda. Gagasan Wayang Modern tersebut timbul manakala Jepang
melarang adanya pertunjukan kesenian melewati pukul 12 malam. Sedangkan
pagelaran Wayang Golek biasanya sapeuting jeput. Akhirnya timbul inisiatip untuk meringkas lakon dari 10 jam menjadi 3 jam tanpa kehilangan essensi cerita. Kegiatan ngawayang ini ditampilkan di Jawatan Radio Jepang dengan istilah ditambul.
Kemudian
Partasuanda mengambil konsep atau unsur sandiwara untuk dimasukan dalam
pagelaran wayang diantaranya, dalangnya bisa lebih dari 2 orang, adanya
setting/background yang dapat diganti-ganti seseuai suasana cerita.
Ditunjang juga adanya effek, baik lighting, sound, sampai ke tekhnik
pertempuran yang menggunakan arus listrik. Wayang Modern boleh disebut
menduplikasi tekhnik pembuatan sebuah film. Akhirnya sebuah resensi
dari koran terbitan Belanda Niewsgier menyatakan : Een oude kunst een modern gewaard (kebangkitan tradisi yang didandani oleh kemodernan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar