Oleh Djasepudin
Nama itu kosong Ketenaran itu hampa Hanya karya yang nyata
Demikian salah satu pesan penyair, deklamator, dramawan, dan
budayawan kelahiran Solo, 7 November 1935, WS Rendra (alm), yang patut
kita renungkan dan larapkan dalam kehidupan kini dan akan datang, tak
terkecuali untuk urang Sunda.
Paling tidak, jika kita memaknai pesan Rendra dengan jembar pikir
dan kebeningan jiwa, kelakar Haji Hasan Mustapa tentang Sunda itu suda
(kurang, lemah, atau lembek) dan sundek (sempit) tidak akan terbukti.
Sebab, Sunda itu mesti cageur (sehat), bageur (baik) pinter, wanter
(berani), singer (gesit), jembar (luas), maher dan motekar (kreatif).
Namun, dalam alam kesejagatan seperti kiwari, sejumlah tokoh dan
organisasi kesundaan masih teperdaya dengan persoalan nama, terlampau
anteng dengan buaian cerita kejayaan Sunda masa silam. Sunda hanya
dijadikan dongeng untuk gengsi gagah-gagahan. Disadari atau tidak,
mereka berbenam dengan pola pikir dan pola sikap menyesatkan.
Salah satu akibat Sunda terlampau ketelikung oleh kisah kejayaan
karuhun, dalam pergaulan kehidupan nasional sekarang, Sunda kerap
terbelakang, bahkan di sarakan-nya sendiri pun kian terpinggirkan. Tak
percaya? Tak hanya pejabat eksekutif, yudikatif, atau legislatif, para
kuli kasar atau pedagang kaki lima (PKL) yang memenuhi trotoar dan
sebagian jalan umumnya dikuasai masyarakat non-Sunda. Tak percaya diri
Urang Sunda sejak dulu memang jarang terdengar menjadi imam, bahkan
untuk menjadi makmum juga kerap menjadi korban. Ranah Sunda hanya
dijadikan pijakan untuk mengembangkan ideologi dan kepentingan. Sikap
biluk-menurut begitu saja-yang merasa cukup menjadi makmum sejatinya
mencerminkan sikap inferioritas urang Sunda. Fenomena inferior lahir
karena adanya perasaan kekurang(tidak)mampuan diri. Sering juga karena
seseorang memiliki rasa-rumasa atau memang betul-betul mempunyai
kekurangan secara fisik dan psikis.
Akibat lain, Sunda jadi eraan (tidak percaya diri), kumaha nu
dibendo (pasrah pada ketentuan atasan), tidak peka pada keadaan, serta
yang sangat memalukan adalah borangan (penakut) dan menggantungkan
situasi pada orang lain.
Oleh karena itu, memerhatikan sepak terjang urang Sunda dalam kancah
lokal dan nasional, Rendra yang mengenyam pendidikan di SD, SMP, SMA St
Yosef, Solo; Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta; dan American Academy of Dramatical Art, New York, AS (1967)
berkesimpulan, urang Sunda itu seperti kuya (kura-kura).
Kita tahu tabiat kura-kura. Orang Sunda kerap menyebut kuya batok,
sangat-tepatnya-terlalu hati-hati. Kuya batok jarang menampakkan
dirinya di hadapan umum. Kepalanya selalu berbenam di balik
tempurungnya. Jikapun kepalanya keluar, tetapi bila ada makhluk lain
(manusia) yang mendekatinya, secepat kilat kepalanya kembali ditarik.
Kuya batok baru menampakkan jati dirinya bila keadaan dirasa aman.
Meski terlalu hati-hati, dibandingkan makhluk air/amfibi lainnya, kuya
batok terbilang panjang usia. Hal itu, saya pikir, buah dari
memanfaatkan situasi, menghindari risiko, dan hanya cari aman sendiri.
Sunda yang oleh Rendra diidentikkan dengan kuya, saya pikir, bukan
asal buka suara saja. Hal itu merupakan buah dari pengamatan dan
pengalaman Rendra selama bergaul dengan urang Sunda di tingkat lokal
atau nasional. Sebab, selain tinggal di Depok Jawa Barat, tak sedikit
karya sajak/drama Rendra yang berlatar atau berasal dari Tatar Sunda,
misalnya Perjuangan Suku Naga.
Sajak Rendra yang lain di antaranya Jangan Takut Ibu, Balada
Orang-orang Tercinta, Empat Kumpulan Sajak Rick dari Corona, Potret
Pembangunan dalam Puisi, Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta, Blues
untuk Bonnie, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari
Bapak, dan Rumpun Alang-alang.
Gambaran Sunda adalah kuya yang disimpulkan oleh penulis naskah
drama Orang-orang di Tikungan Jalan, Sekda dan Mastodon dan Burung
Kondor, Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus,
dan Bip Bop ini, saya pikir, memang benar adanya, apalagi jika melihat
realitas kesundaan ayeuna. Harus mandiri
Sadar dari Tatar Sunda tidak ada yang mencalonkan diri menjadi calon
presiden dan wakil presiden, seakan tak memiliki rasa malu, sejumlah
kalangan-konon menyebut diri mewakili orang Sunda-ngabring ke Jakarta
menghadap dan mengharap alias meminta jatah ke salah satu kandidat kuat
presiden agar di antara rombongan atau orang-orang pilihannya, ada yang
ditunjuk mendapat kursi menteri di kabinet presiden terpilih.
Nyata, hal itu melebihi sifat kuya, cari nyamannya doang. Yang lebih
parah lagi, nyiar untung ti nu enteng, ngising tapi embung ngisang,
hayang ngarih tapi teu ngarah, hayang ngakeul tapi teu ngakal, atau
ingin sesuatu (jabatan/kekuasaan), tetapi malas bekerja. Inginnya
disuapi atau diberi saja.
Padahal, salah satu arti Sunda, kata budayawan RH Hidayat Suryalaga,
adalah terang. Cahaya kehidupan untuk semua. Penerang agar kita tidak
sesat jalan. Dengan kata lain, Sunda harus mandiri dan malah harus
memberi. Kala meraih keinginan mesti melalui perjuangan. Hal itu, saya
pikir, sungguh sesuai dengan salah satu pokok pikiran pidato kebudayaan
Rendra di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 1997, yang
berbunyi: Kesadaran adalah matahari Kesabaran adalah bumi Keberanian
menjadi cakrawala Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
dimuat di Kompas Jabar, Sabtu, 12 September 2009
Bilih kuring mipit teu amit ngala teu bebeja, kalih bilih aya seratan nu teu kawidian pamugi neda widina. Hatur Nuhun
16 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pangeran Jamban
Pentingna ngaji tepat waktu teh meureun sangkan henteu saliwang sok komo lamun nu diajina ilmu taohid. Salah saeutik oge apan anu tikosewad ...
-
Sisindiran téh asalna tina kecap sindir, anu ngandung harti omongan atawa caritaan anu dibalibirkeun, henteu togmol. Luyu jeung éta, dina s...
-
MOHON tidak berburuk sangka dulu, saya tidak berniat menulis seputar pornografi. Sengaja saya tulis dalam bahasa Indonésia, karena kata “mom...
-
Sikep idealis andika menyebabkan dia kesusahan menghindari hal yang bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Sumirah (umi) istrinya menj...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar