16 Januari 2010

Menerawang Sejarah Wayang (bag. 1)



Secara umum wayang merupakan seni kalangenan yang sangat akrab bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terutama masyarakat pulau Jawa. keberadaanya terus berdenyut dalam nadi budaya bangsa Indonesia. Wayang dengan bentuk pagelarannya merupakan karya cipta asli bangsa Indonesia yang   diakui oleh UNESCO sebagai karya adiluhung dunia. Tahun 1988 dipulau Jawa terdapat kurang lebih 40 jenis  wayang yang digolongkan menurut ceritanya, cara pentas dan cara pembuatannya. Kini hampir sepertiganya telah punah.  
Menyusuri keberadaan wayang harus seiring dengan sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia. Bukti awal tentang keberadaan wayang  termaktub diantaranya dalam prasasti Tembaga yang bertahun 840 M ( 762 Saka ), isinya menyebutkan salah satu jenis pekerjaan yang bernama “aringgit” yang mengandung arti tukang wayang atau dalang. Tukang Wayang atau aringgit ini juga dikenal dengan nama “jurubrata” yaitu orang yang mampu  medar lalakon turunan Barata, sama halnya dengan sebutan jurupantun yaitu orang yang mampu medar cerita pantun.  
Kemudian dalam prasasti Ugrasena  ( 896 M ) menyebutkan beberapa kelompok kesenian, diantaranya yang disebut “parbwayang”, atau pertunjukan wayang. Prasasti Balitung ( 907 M/829 saka) juga menyiratkan keberadaan wayang yang tertera dalam kalimat “ Sigaligi mawayang buat Hyang, macarita Bhima Kumara.  Bahkan menurut sumber lain ( Jajang Suryana, 2001 ) bukti lebih tua dari yang tercatat dalam Prasasti Tembaga, bahwa sekitar 778 M  masa Wangsa Syailendra hingga 907 M masa Wangsa Sanjaya keberadaan wayang, terutama wayang kulit telah ada dan sering menampilkan  cerita tentang roh nenek moyang, selanjutnya setelah adanya akulturasi dari agama Hindu cerita Ramayana dan Mahabharata mulai populer.
Wangsa Sanjaya memliki kepekaan yang lebih kental dalam menafsirkan ajaran Hindu Civa yang menjadi agama resmi mataram kuno saat itu. Hal tersebut diwujudkan dengan mendirikan komplek percandian di Dieng yang semua unsurnya, baik nama, arsitektur, maupun lokasinya diambil dari kitab Mahabharata.  Sehingga seluruh tempat di Dieng sarat nuansa pewayangan dari nama Kawah, telaga, sampai nama candi yang terbagi dalam empat komplek, yakni kelompok Candi Dwarawati dan Parikesit, kelompok Candi Dwarawati Timur, kelompok Candi Setyaki, Ontorejo, Petruk, Nala Gareng, dan Nakula-Sadewa, serta kelompok Candi Arjuna, Semar, Sembodro, Puntadewa, dan Srikandi.
Satu hal menarik, ternyata  candi-candi Dieng diduga kuat dibuat oleh orang Sunda. Hal tersebut disitir oleh Aan Merdeka Permana yang menyatakan bahwa ratusan tahun silam, seorang putra Prabu Mandiminyak dari Kerajaan Galuh (702-709 Masehi) bernama Senna melakukan pengembaraan ke wilayah Mataram Kuna. Sang Senna akhirnya menjadi menantu penguasa Mataram. Dari perkawinan Sang Senna dengan Sannaha, lahirlah Sanjaya, penguasa Mataram pada 732-754 Masehi. Prabu Senna sendiri berkuasa di Mataram antara 716-723 Masehi.
Mungkin saja lalakon Sang Sena yang melakukan pengembaraan dari Galuh ke wilayah Jawa Tengah sampai akhirnya menjadi penguasa mataram disemangati oleh beberapa parwa Mahabrata yaitu Sabhaparwa (Pandawa sengsara) dan Wanaparwa (Pandawa berkelana). Dalam bagian Wanaparwa  diceritakan keberhasilan Pandawa membabat Alas Amer menjadi sebuah kerajaan baru bernama Amarta dengan ibukotanya Indraprahasta dan jika di teliti nama Amarta dengan Mataram memiliki kesamaan hurup vokal dan konsonan.



Tidak ada komentar:

Pangeran Jamban

Pentingna ngaji tepat waktu teh meureun sangkan henteu saliwang sok komo lamun nu diajina ilmu taohid. Salah saeutik oge apan anu tikosewad ...