28 Oktober 2009

Malam Ke-27

Cerpen DHIPA GALUH PURBA

Masuk ke Jalan Simpang Dukuh. Sampailah ke pesisian sungai Kalimas. Airnya mengalir dengan tenang. Tidak bening, malah kotor, namun pohon-pohon yang menghiasi sepanjang sungai, membawa suasana yang sejuk dan segar. Di sebrangnya pun terdapat sebuah taman bunga yang terlihat begitu indahnya. Walau malam hari, ditambah dengan mendungnya langit, tapi keasriannya tetap terlihat dan terasa. Lampu yang remang-remang di taman Kalimas, sepertinya masih dianggap terlalu terang. Sebab beberapa pasang manusia malah bersembunyi dibawah pohon yang cukup rindang, atau di tempat yang lebih gelap lagi.

Perlahan-lahan kakiku meniti sebuah gapura yang menjadi ujung jembatan Kalimas. Tatkala mataku melihat ke arah gapura, maka segera kubuang pandanganku. Sebab di dalam gapura ada sepasang manusia yang sedang asik memadu kasih, mengumbar asmara berlebihan. Tidak tahu malu. Padahal gapura itu tidak ada penutupnya. Dan yang pasti, semua pejalan kaki yang melintas jembatan ini, pasti akan melewatinya.

“Kirain bukan orang gila!” kata yang laki-laki sambil memeluk lagi pasangannya. Entahlah bagaimana kelanjutannya, sebab aku segera meneruskan lagi langkahku. Jembatan yang terbuat dari kayu, terasa bergoyang. Untungnya bukan sekali-dua kali, kedua kaki menginjak jembatan ini. Malah hampir tiap malam, aku berdiam diri di tengah-tengahnya. Sampai aku sudah merasa menjadi kuncen jembatan Kalimas.

Sayup-sayup terdengar suara adzan dari menara mesjid. Saling bersahutan dengan musik yang bergemuruh di petamanan. Gema adzan memenuhi sekitar Kalimas. Tapi kenapa manusia seperti yang tuli? Atau sengaja pura-pura tuli? Bulan puasa, tak ada bedanya dengan bulan-bulan lain. Siapa bilang kalau setan-setan diikat kaki dan tangannya oleh rantai. Setan yang mana? Setan hantu gentayangan atau setan yang suka berbisik pada setiap dada manusia? Soalnya suara adzan malah dijawab oleh kentut knalpot motor dan mobil di jalan raya. Klakson pun lebih keras lagi dibunyikannya. Wanita centil memperlihatkan pahanya. Om-om banyak duit makin asik memeluk wanita muda. Si tante yang keriput kulit mukanya, semakin mesra bersandar di dada pemuda yang menukarkan keimanannya dengan sepasang sepatu.

Seperti malam-malam sebelumnya. Aku hanya duduk atau berdiri di tengah-tengah jembatan ini. Melemparkan pandangan sejauh mungkin. Bagaikan menerobos berjuta kenangan yang pernah kujalani. Dalam setiap saat, aku ingin bercermin lagi ke masa yang lampau. Memang Wajar jika aku dikategorikan sebagai orang yang tak punya harapan. Kuakui itu. Tapi apakah aku pantas disebut orang gila? Padahal aku masih normal. Aku masih mengenal siapa diriku. Bahkan aku juga tahu tempat yang menjadi menjadi kediamanku hampir setiap saat ini.

Malam ke-27 bulan puasa. Tak ada yang berubah di jembatan Kalimas. Ketika kulempar pandanganku ke sebelah utara, masih terlihat megahnya gedung Studio East. Begitu pun di sebelah selatan, gedung BCA yang mencakar langit masih nampak. Sebelah barat dan timur, dua gapura yang menjadi ujung jembatan. Gapura yang hampir tiap malam dihuni oleh sepasang manusia yang mengikuti ajakan setan.

Sebenarnya aku pun suka melaksanakan ibadah puasa seperti halnya para pemeluk agama Islam lain. Sayangnya aku tidak pernah melaksanakan sholat tarawih di mesjid atau di surau. Hal itu dikarenakan aku suka diusir. Memang Wajar. Aku memaklumi hal itu. Pantas saja kalau aku dianggap orang gila. Terutama karena pakaianku yang rombeng, kumal, dan compang-camping. Menghiasi tumbuhnya bulu-bulu yang hampir menutupi sebagian besar wajahku yang tidak terurus. Aku pun bukannya tidak mampu atau tidak ingin seperti orang lain. Namun keadaanlah yang memaksaku untuk menjadi seperti ini.

Terlunta-lunta di kampung orang, mungkin itulah pendek katanya. Genap sudah satu tahun, aku berjalan tiada terarah. Masih tercatat dalam ingatanku, ketika aku berangkat meninggalkan kotaku. Waktu itu tepat sekali bersamaan dengan hari ke-26 bulan puasa. Sebab pada malam ke27, aku sudah tak sanggup lagi menahan beban peraasaan yang bergemuruh dalam dada. Malam ke-27 pada lima tahun yang lalu, aku punya kenangan yang sulit bahkan tidak mungkin untuk dilupakan. Keberangkatanku dari kota kelahiranku, Bukanlah pergi dengan tanpa tujuan. Bagaimanapun juga, aku punya niat dan keinginan yang bulat. Aku sedang mencarinya. Dia, yang pergi meninggalkanku. Dia, yang pernah kusakiti hatinya. Dia, yang sekarang entah ada di mana.

Menurut kabar dari kakaknya, dia mengembara di kota ini. Sayangnya aku tidak tahu alamat jelasnya. Sudah kucari dan kuselusuri sampai ke pesisian, tetap saja belum kutemukan. Sampai pada akhirnya bekalku pun ludes sama sekali. Yang membuatku tak bisa pulang lagi ke kotaku. Selain tidak punya ongkos, ditambah lagi oleh kebulatan rekadku. Daripada aku pulang tanpa dia, lebih baik aku tidak pulang sama sekali. Pernah suatu waktu, aku hampir menemukannya. Ketika kumasuki jalan Doli, aku melihat seorang wanita yang mirip sekali dengannya. Setengah tidak percaya dari sejak awalnya juga, Sebab wanita itu berada dibalik etalase. Tentu saja untuk dijual kepada para laki-laki buaya. Tidak ada bedanya dengan menjual barang. Siapa saja yang ingin mencicipinya serta mau membayarnya, wanita itu siap untuk dibagaimanapun juga. Sudah pasti, yang tidak menggunakan etalase pun, bagaikan berjualan gorengan.

Kutatap Wanita itu. Kuteliti untuk lebih mengetahuinya. Dari mulai ujung rambut sampai ke ujung kaki. Malah tadinya aku ingin memegang pergelangan tangannya. Ingin kupastikan bahwa dibalik tangannya ada tahi lalat sebesar kacang hiajau. Tapi sayang, antara aku dan dia, dibatasaui oleh kaca penghalang. Malah gara-gara kaca itu pun, sepertinya dia juga tidak bisa melihatku. Cuek saja sambil menghembuskan asap rokok dari sela-sela bibirnya. Aku yakin, wanita itu bukan dia. Bukan. Sebab ada satu hal yang sangat berbeda dengan dia.

Aku tidak kehilangan akal. Dengan beberapa cara, aku mencoba untuk mencari tahu tentang asal-usul wanita dibalik etalase itu. Kebetulan ada seorang laki-laki yang bisa diajak berbincang-bincang. Hanya dengan sebatang rokok, dia pun mulai menceritakan wanita itu. Menurutnya, dia adalah Noni. Sudah hampir satu tahun menjadi penghuni tetap Jalan Doli. Kota asalnya tak ada yang tahu. Yang pasti, aku merasa tenang, sebab nama yang sedang kucari bukan…Noni. Ingin raanya aku berbicara dengan Noni secara langsung. Sayang sekali harganya tidak terjangkau oleh dompetku. Sebab semua orang tidak akan ada yang akan percaya kalau aku hanya ingin berbincang-bincang dengannya. Apa pun alasannya, aku harus membayar Noni berdasarkan tarifnya. Tentu saja aku hanya bisa menggigit jari, Sambil mataku tak lepas memperhatikan dan mengantarkan Noni, yang digandeng oleh seorang laki-laki setengah baya.

Berbincang-bincang dengan lelaki yang baru kukenal itu agak berkepanjangan. Malah dia menceritakan tentang Noni, yang dikenal sebagai wanita misterius. Entahlah, misterius di bagaimana. Aku tidak sempat mendapat jawabannya, sebab perbincangan pun keburu dibelokan ke berita yang sedang aktual di kotaku. kabarnya, di kotaku sedang geger dengan adanya kasus VCD porno sepasang mahasiswa. Kopi VCD itu sudah tersebar kemana-mana. Kemudian dibandingkan dengan VCD porno ‘Anak Ingusan’ yang kebetulan dibuat di kota ini. menurutnya, VCD porno di kotaku tidak sengaja diproduksi untuk diedarkan. Malah bisa dikatagorikan sebagai suatu musibah. Sedangkan VCD porno yang dibuat di kota ini, sengaja diproduksi untuk dijual. Malah pemainnya juga kabarnya didukung seorang WTS yang sudah profesional. Benarkah di kotaku ada kejadian seperti itu? Kalau benar, saya sungguh merasa malu. Malu oleh Tuhan, juga malu oleh pemainnya. Sebab kelakuanku sebelumnya, malah lebih dari itu. Bedanya, kalakuanku tak ada yang memergokinya. Hanya Tuhan yang tahu. Haruskah aku juga mengatakan kepada semua orang tentang perbuatanku? Tentang yang pernah kulakukan dengan Iseu, Apon, Rostika, Enur, Titin, Kiki, Ida, dan lain-lain. Yang pasti, aku merasa lebih bejat dibanding pemeran VCD porno di kotaku. Sumpah.

Masih di jalan Doli, aku mendapatkan musibah yang sulit untuk kulupakan. Tak kusangka, ternyata lelaki yang mengajakku berbincang-bincang itu adalah seorang laknat. Dengan menjanjikan untuk mempertemukanku dengan Noni, aku dibawanya ke tempat sepi. Ternyata semua itu hanya akal-akalannya saja. Sebab pada akhirnya aku tidak berkutik ketika cluritnya hinggap pada leherku. Semua uangku dirampasnya, termasuk baju dan celanaku satu-satunya yang sedang kupakai. Sungguh, aku hanya mengenakan kolor saja. Sehingga dengan terpaksa, mau tidak mau aku harus memungut pakaian dari tempat sampah. Walau rombeng dan bau, aku harus memakainya. Tak heran kalau semua orang menganggapku orang gila. Padahal aku tidak merasa gila. Tidak. Aku tidak gila. Aku hanya mengakui kalau aku tergila-gila olehnya.

“Punten!” tidak kusadari datangnya. Seorang wanita telah melewat ke depanku. Tentu saja aku merasa kaget. Selain jarangnya ada yang berkata seperti itu, ditambah lagi dengan orangnya. Dia. Dia adalah wanita yang selama ini sedang kucari. benar, walau hanya terlihat punggungnya, tapi aku tak akan salah melihat. Tidak salah. Dialah yang selama ini kucari. Dia… Dewi. Dewi.

“Dewi! Antosan, Wi!” aku berteriak memanggil namanya. Dan dia pun menghentikan langkahnya. Lalu membalikan tubuhnya. Matanya menatapku dengan tajam.

“Dewi, ieu abdi, Darma!” kataku, ingin meyakinkannya. Benar, dia seperti yang terkejut. Malah dia pun kemudian berjalan menuju ke arahku. Jembatan Kalimas bergoyang, bersamaan dengan jantungku yang berdetak semakin cepat.

“Darma?” dia bertanya sambil matanya tiada henti menatap wajahku.

“Muhun, Darma, Wi. Hampura abdi, Wi. Abdi tos tobat. Moal kagoda deui ku sasaha oge. Hayu urang uih ka lembur, Wi!” tanganku berusaha untuk memeluk tubuhnya. Tapi sungguh mengagetkan, ternyata dia menghindar, bahkan menghempaskan tubuhku.

“Didinya teh sahana didieu? Sangeunahna pisan hayang nangkeup didieu. Sanajan sarua ti Jawa Barat, tapi lain hartina didinya bisa kikituan jeung didieu,” katanya dengan nada yang marah. Bersamaan dengan itu, hujan pun mulai turun. Kilat mempotret rona wajahnya, beradu dengan suara petir yang bergemuruh.

“Dewi?!” aku ternganga. Tak percaya pada setip kata-katanya.

“Didieu lain Dewi. Didieu mah nyampeurkeun soteh, pedah ngadenge didinya anu bahasana sarua jeung bahasa didieu,” katanya sambil membuang wajahnya ke sebelah utara.

“Dewi, kawasna dosa-dosa abdi kalintang ageungna. Kasalahan abdi dugi ka moekeun hate Dewi. Abdi rumaos, Wi. Abdi kacida hanjakalna tos ngaraheutan hate Dewi. Tos aya kana sataunna, abdi kalunta-lunta milarian Dewi. Abdi jangji, bakal ngarobah sagala kalakuan abdi. Hayu, Wi, apan Dewi teh hoyong sasarengan saur, sareng buka puasa seuih. Urang papag dinten boboran, ku urang duaan. Abdi tos meser acuk kanggo Dewi. Di Bandung, abdi tos muka usaha kana konstruksi rangka beton,” aku mencoba untuk mengingatkannya.

“Keun, isuk atawa pageto, didieu rek ngabantuan neangan anu ngaranana Dewi.” Malah seperti jawabannya, sambil melirik ke arah gapura. Disana seorang laki-laki sedang berdiri sambil bertolak pinggang. Entah sudah berapa lama, dia berdiri di sana.

“Noni! Cepetan, dong. Ngapain bicara sama orang gila!” lelaki itu berteriak. Tiba-tiba dia tertegun beberapa saat. Lalu berbalik memandang wajahku. Dia menghampiri laki-laki itu dengan tergesa-gesa.

“Siapa yang bilang suamiku orang gila, hah?!” katanya sambil mencengkram kerah bajunya. Kemudian dia mendorong tubuh lelaki itu ke arah jembatan. Membuat aku kaget. Kaget bercampur dengan keharuan yang tiada hingganya. Kebahagiaan yang selama ini kucari pun, rasanya sudah mulai menghampiri.

“Apa-apaan ini, Non! Kamu juga jadi gila, yah!” begitu kata lelaki itu, sambil berbalik mencekik leher Dewi.

“Kang Darma!” dia berteriak memanggil namaku. Diiringi makin derasnya hujan. Benar. Dia memanggil namaku. Ya Tuhan, dia memanggil namaku.

“Dewiiii…!” aku berteriak sambil berlari ke arahnya. Tapi secepat kilat, tubuh Dewi didorong oleh laki-laki itu. Byuuur…, dia terjatuh ke sungai Kalimas yang airnya sedang meluap. Sekilas, hanya kulihat gapaian tangannya.

“Dewiiiiii!” aku berteriak semakin keras. Beradu dengan suara petir yang semakin bergemuruh.

Ketika aku akan melompat ke sungai, tiba-tiba kedua tanganku ditarik. Bahkan selanjutnya mukaku terkena hantaman yang sangat keras. Aku berteriak sambil meronta-ronta ingin melepaskan diri. Tapi kakiku dipegangnya kuat-kuat. Malah aku diseretnya ke arah gapura.

“Kang, tulungan! Uang mudik sa…!” terdengar suara parau Dewi, dan… terputus. Entah bagaimana nasibnya. Aku tak berdaya, sebab aku tidak kuasa menahan kegarangan orang yang menyiksaku. Apalagi ketika kepalaku dibenturkan ke tembok. Walau aku berusaha untuk melawannya, tapi tenaganya lebih kuat. Sia-sia saja. Sampai pada akhirnya aku terkulai di dinding gapura. Tak ada kekuatan apa-apa.

“Dewiiii!” suaraku tak akan bisa mengalahkan suara hujan dan petir. Lelaki yang menyiksaku telah berlari, entah kemana. Tapi suara Dewi pun sudah tak terdengar lagi. Darah dari sekujur tubuhku mengalir terbawa air hujan, sebagian ada yang tercampur dengan air Kalimas, menyusul Dewi yang hilang lagi, entah kemana.

“Nawaitu…” bibirku tak bisa meneruskan niat puasaku untuk esok hari. Tapi hatiku sudah bertekad untuk melaksanakan ibadah puasa di hari ke-27***

Cag !!

Cipadung, 2002

Tidak ada komentar:

Pangeran Jamban

Pentingna ngaji tepat waktu teh meureun sangkan henteu saliwang sok komo lamun nu diajina ilmu taohid. Salah saeutik oge apan anu tikosewad ...