28 Oktober 2009

Perjalanan Menelusuri Lorong Gaib

Oleh DHIPA GALUH PURBA



Percaya atau tidak, tapi ini benar-benar terjadi. Somana (25 tahun), seorang pria yang sehari-harinya menjadi pedagang bubur ayam di Bandung, pernah melanglang sebuah lorong alam gaib. Suatu pengalaman yang sangat menegangkan dan menakutkan. Namun dibalik kejadian itu, terdapat banyak hikmah yang dapat dipetiknya.



Kisah yang kualami dan kuceritakan ini, bukanlah bertujuan untuk memamerkan apa yang kumiliki. Lebih tepatnya, hanya untuk berbagi pengalaman dengan para pembaca. Mungkin saja, dari kisahku ini terdapat suatu hal yang bisa bermanfaat atau dijadikan menjadi suatu bahan perbandingan. Aku begitu yakin, yang mengalami kisah seperti ini bukan aku saja. Sama sekali, aku tidak memiliki kepandaian apa-apa dalam bidang ilmu gaib. Keahlianku yang paling menonjol tiada lain adalah meracik bubur ayam, menjualnya, dan sekali-kali memakannya. Tentang kisahku yang agak aneh, sepertinya tidak ada sangkut pautnya dengan bubur ayam.

Sejak usiaku masih belasan taun, banyak diantara para sesepuh yang mengingatkanku agar selalu berhati-hati dalam menyusuri kehidupan ini. Dikatakannya bahwa dalam diriku terdapat suatu hal yang misterius dan tak bisa dikejar oleh logika. Entah apa yang dimaksudkan mereka. Yang pasti, pada mulanya aku tidak begitu percaya. Mungkin dikarenakan aku belum menemukan keganjalan apa-apa dalam setiap gerak-gerikku. Apalagi mengalami suatu keanehan yang banyak diceritakan orang. Pokoknya aku menganggap lumbrah saja. Tak ada kaahengan apa-apa dalam diriku.

Baru pada usiaku yang menginjak duapuluh tahun, perkataan para sesepuh itu bisa terbukti. Aku merasakan banyak keanehan yang terjadi dalam hidupku. Contohnya, pada suatu hari, ketika aku akan jualan bubur, tiba-tiba kakiku seperti ada yang mengendalikan. Niatku ingin belok ke kanan, tapi kekuatan gaib itu memaksaku agar melangkah ke sebelah kiri. Ternyata, jika aku memaksa untuk belok ke kanan, tidak menutup kemungkinan jika aku akan menjadi salah satu korban kecelakaan lalu-lintas. Sebab, tak lama setelah aku belok ke kiri, ada sebuah mobil yang bertabrakan dengan sebuah sepeda motor.

Sejak kejadian itulah aku mulai memikirkan setiap ucapan para sesepuh di kampungku. Apalagi setelah banyaknya pengalaman-pengalaman yang kutemui, dan sungguh tidak masuk di akal. Seperti suara yang mengetuk pintu rumah di tengah malam, atau suara yang sedang mandi. Padahal, waktu kutengok ke sumber suara tersebut, ternyata aku tidak melihat siapa-siapa.

Sampai pada usia 22 tahun, aku menikah dengan seorang gadis Pasundan, keanehan-keanehan yang kutemui semakin kerap terjadi. Tapi aku berusaha untuk menyembunyikan semua itu, terutama kepada istriku. Hingga kini, aku sudah dikaruniai seorang anak, kejadian-kejadian aheng itu terus menerus membayangiku dalam setiap waktu. Walau aku memang masih ragu-ragu, apakah ini benar-benar dikarenakan ada ’sesuatu’ dalam diriku, atau pengaruh tempat kontrakanku yang (menurut orang lain) ada karuhunnya.

Pada suatu hari, sekitar jam empat sore, ketika aku sedang leleson di atas kasur. Tiba-tiba ada suara bisikan yang sangat jelas terdengar oleh kedua telingaku.

“Hayu wang milu (Ayo ikut),” begitulah bisikan itu. Suaranya sangat bergema, dan mengandung kekuatan yang luar biasa. Anehnya, tetanggaku tidak ada yang mendengarnya.

“Kamana? (Kemana?)” aku bertanya dengan hati yang berdebar-debar. Apalagi ketika pemilik suara itu ngajenggelek di hadapanku. Tampak seorang kakek-kakek, berjanggut putih dengan pakaian serba putih pula.

“Engke oge bakal nyaho (Nanti juga akan tahu),” jawabnya.

“Tapi, sieun kaburu datang pamajiakan (Tapi, takut istriku keburu datang),”

“Moal. Hayu! (Tidak akan. Ayo!)” kata kakek itu, sambil tangannya memegang jari-jari tanganku sangat erat. Sungguh, aku tak bisa menolaknya. Dan memang aku juga merasa penasaran, mau diajak kemana oleh kakek tersebut.

Aku terkejut ketika rohku keluar dari jasad. Dengan mata kepalaku sendiri, aku menyaksikan jasadku yang terbaring dalam kasur. Sedangkan rohku ditutunnya untuk diajak masuk pada sebuah pintu gaib yang berukuran kurang lebih satu meter persegi.

Begitu masuk, aku langsung dibawa terbang menyusuri lorong yang cukup panjang. Saking cepatnya, sehingga aku tak sempat melihat apa-apa dalam perjalanan tersebut. Hanyalah kerlap-kerlip warna yang bisa terlihat sepintas saja.

Perjalananku dalam lorong gaib itu, terasa sudah sangat jauh. Bahkan aku telah melalui lima pintu yang ukurannya tidak terlalu jauh berbeda dengan pintu pertama. Dan ketika akan melalui pintu yang ke-6, aku mencoba untuk menghentikan perjalanan tersebut. Masalahnya di depan pintu tersebut, ada rorongkong berwarna abu-abu yang menjaganya. Terus terang saja, aku merasa takut.

“Jadi rek kumaha ayeuna? (Jadi mau bagaimana sekarang?)” tanya kakek itu.

“Bade uih deui bae, (Mau pulang lagi saja),” jawabku.

“Bodo pisan. (Bodoh sekali.)” begitu katanya sambil meluncur ke pintu yang ke-6, meninggalkanku yang terpaku sendirian. Aku tak berani melanjutkan perjalanan itu. Sehingga pada akhirnya aku memilih untuk kembali menuju pintu yang ke-4, ke-3, dan akhirnya sampai lagi ke depan jasadku kembali. Sebelum aku memasukinya jasad, sempat juga kuperhatikan jasadku yang tengah terbaring tanpa menghembuskan napas itu. Betapa besarnya keagungan Alloh SWT. Membuatku semakin yang dan percaya, bahwa Gusti Alloh adalah maha segalanya.

Begitulah kisah yang dialamiku beberapa waktu yang lalu. Walau aku sendiri masih belum bisa mengartikan semua itu, namun setidaknya aku bisa membuktikan bahwa Alloh SWT telah menciptakan alam gaib di dunia ini. Dan aku pun berusaha untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Hanya Alloh tempatku berlindung, dan hanya kepada-Nya aku memohon segala keinginan. ***

Tidak ada komentar:

Pangeran Jamban

Pentingna ngaji tepat waktu teh meureun sangkan henteu saliwang sok komo lamun nu diajina ilmu taohid. Salah saeutik oge apan anu tikosewad ...